Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kewajiban Memilih Pemimpin Dalam hukum Islam

 

Kewajiban Memilih Pemimpin Dalam hukum Islam


Pada momentum pemilu pilkada serentak seperti saat ini, berikut adalah kumpulan beberapa ayat dan hadis mengenai memilih pemimpin dan  larangan sogok menyogok.

A. Memilih Pemimpin

Allah SWT berfirman :

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِى ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡ‌ۖ فَإِن تَنَـٰزَعۡتُمۡ فِى شَىۡءٍ۬ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ‌ۚ ذَٲلِكَ خَيۡرٌ۬ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلاً

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa : 59)

Dalam kajian politik Islam (siyasatul islamiyah), memilih serta mengangkat pemimpin adalah suatu kewajiban. sebagaimana Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Horoiroh, Rasulullah SAW bersabda :

إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَكُمْ.

Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah).

merujuk dari hadist tersebut, maka dapat dipahami bahwa tiga orang saja bepergian untuk musafir, maka hendaknya diantara tiga orang tersebut harus diangkat sebagai pemimpin. apalagi lagi misalnya kita yang berada dalam satu kelompok besar, dalam satu komunitas daerah kabupaten, maka wajib bagi kita untuk memilih dan mengangkat pemimpin kita di daerah ini. Tentunya kewajiban memilih pemimpin itu adalah sepanjang untuk urusan yang dibenarkan oleh syari’ah.

berdasarkan kepada hadist di atas, maka Frasa fî safar[in] (bepergian) menunjukkan, bahwa ketiga orang tersebut mempunyai urusan yang sama (umûr musytarakah), yaitu sama-sama hendak bepergian, dan bepergian itu sendirihukum asalnya adalah mubah (dibenarkan syariah). Dari frasa tersebut bisa ditarik kesimpulan, jika dalam urusan yang mubah saja mengangkat pemimpin hukumnya wajib, tentu dalam perkara yang wajib lebih wajib lagi. Inilah mafhûm muwâfaqah yang bisa kita tarik dari nash hadis di atas


يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِى ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡ

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta para pemimpin di antara kalian (QS an-Nisa’ [4]: 59).

Ayat diatas menjelaskan hukum wajibnya mentaati pemimpin (uli al-amr(, yaitu orang yang mendapatkan kepercayaan untuk memerintah rakyat. Namun, ayat ini tidak berlaku untuk uli al-amr yang tidak menjalankan hukum-hukum Allah atau uli al-amr yang menyuruh kepada kemaksiatan, karena kita dilarang untuk mentaati pemimpin yang menyuruh maksiat kepada Allah.

tetapi  dari teks ayat tersebut adalah adanya kewajiban untuk mentaati pemimpin. Maka kalau mentaati pemimpin hukumnya wajib maka wajib jugalah hukumnya untuk mengangkat pemimpin. Hal ini sesuai dengan kaedah Hukum Fiqh yang berbunyi:
“Segala  sesuatu  yang mana sebuah kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan melakukannya, maka sesuatu  tersebut wajib dikerjakan“

Contoh sederhana terhadap pemahaman qa’idah fikih ini adalah : bahwa kewajiban shalat tidak akan bisa kita laksanakan dengan sempurna kecuali dengan berwudu’, maka berwudu’ itu hukumnya menjadi wajib.

Nah, demikian juga, kita tidak akan bisa melaksanakan kewajiban untuk mentaati pemimpin kalau pemimpin itu tidak ada, maka memilih atau mengangkat pemimpin juga menjadi suatu kewajiban.

Dalm konteks bernegara, Kewajiban untuk memilih pemimpin ini telah ditegaskan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwa MUI hasil Musyawarah Alim Ulam se-Indonesia di Padang Panjang Sumatera Barat Tahun 2009, dimana salah bunyi fatwa tersebut adalah :

1. Pemilihan Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

2. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah danimarah dalam kehidupan bersama.

3. Imamah dan Imarah dalam Islam menghajatkan  syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.

4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunya kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.

5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram


Memilih dan mengangkat pemimpin adalah salah satu kewajiban hendaknya jangan dikotori dengan praktek-praktek yang tidak pantas seperti sogok-menyogok (politik uang). Dalam ajaran Islam, politik uang (riswah) hukumnya adalah haram dan sangat dibenci oleh Allah SWT. Dalam sebuah hadist ada dinyatakan tentang larangan risywah ini sebagai berikut:

عن ابْن أَبِي ذِئْبٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو،قَالَ: «لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي»

Artinya :
Dari Ibni Abi Dzi’b, dari Al-Harits bin Abdirrahman, dari Abi Salamah, dari Abdillah bin ‘Amr, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap.

Apabila ada calon yang natinya melakukan praktek-praktek politik uang untuk meraih suara rakyat, maka calon tersebut tentunya bukan kriteria calon yang jujur dan amanah, maka sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia pada butir 5 seperti yang kami sebutkan di atas, memilih pemimpin yang tidak beriman dan tidak bertakwa, memilih pemimpin yang tidak jujur (siddiq), tidak terpercaya (amanah), tidak aktif dan aspiratif (tabligh), tidak mempunyai kemampuan (fathonah), dan tidak memperjuangkan kepentingan umat, maka  hukumnya adalah haram.


Posting Komentar untuk "Kewajiban Memilih Pemimpin Dalam hukum Islam"