Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dasar Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid

Dasar Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid

Belajar dan menguasai ilmu tajwid hukumnya fardhu kifayah. Artinya, jika terdapat orang Islam lainnya yang belajar atau menguasai ilmu tajwid, maka gugurlah kewajiban kita.    Sedangkan hukum membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar (sesuai dengan ilmu tajwid) itu hukumnya fardhu ‘ain.   Adapun dasar hukum mengenai kewajiban membaca Al- Qur’an menggunakan tajwid dan tartil, yaitu:

a.  Dasar Hukum dari Al-Qur’an

ورتل القران ترتيلا (المزمل: ٤)  

Artinya: ”Bacaan al-Qur’an itu dengan tartil” (Al-Muzammil: 4)

Ayat al-Qur’an tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa Allah Swt memerintahkan Nabi Muhammad Saw dan kepada seluruh pengikut Nabi Muhammad (umat Islam) untuk membaca al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dengan cara tartil, yaitu memperindah pengucapan setiap huruf-hurufnya (bertajwid).

Dalam terjemahan versi Depag RI, penggalan ayat yang berasal dari QS. Al- Muzammil: 4 ini diterjemahkan dengan “...dan bacalah Al-Qur’an dengan perlahan- lahan”. Kata “perlahan-lahan” yang dikutip dalam terjemahan tersebut sangat multi tafsir. Karena sejatinya tidak setiap yang perlahan-lahan bermakna tartil, begitupun tidak setiap yang  tartil  mesti  benar-benar  perlahan-lahan.  Apalagi  apa  yang  tersurat  dalam  ayat tersebut hakikatnya bukanlah seperti apa yang diterjemahkan. Dalam kaidah Bahasa Arab, ayat tersebut menunjukkan kalimat perintah yang tegas, yang nampak pada akhir kalimat warattilil qur-ana tartila. Maka terjemahan yang lebih tepat adalah “...dan tartilkanlah Al-Qur’an dengan benar-benar tartil”.

Menurut Al-Imam ‘Ali bin Abi Thalib, berkaitan dengan kata “tartil” dalam ayat di atas bermakna

“Tartil adalah mentajwidkan huruf dan mengetahui kaidah waqaf”.

Mentajwidkan huruf berarti membaca huruf sesuai dengan tempat keluarnya dengan disertai sifat hak dan mustahaknya. Hak huruf adalah sifat asli yang senantiasa menyertai huruf seperti hams, jahr, syiddah, rakhawah, qalqalah, dan sebagainya. Sedangkan mustahak huruf adalah sifat yang sewaktu-waktu menyertai huruf tertentu seperti: sifat tafkim (suara tebal), tarqiq (suara tipis), hukum-hukum yang terjadi dengan sebab tarkib (hubungan dua huruf). 

Berkaitan dengan ayat dan penjelasan-penjelasan di atas, dalam firman Allah Swt yang lain dijelaskan bahwa:

ورتلنه ترتيلا (الفرقان: ٣٢) 

Artinya: “Dan Kami (Allah) telah bacakan (al-Qur’an itu) kepada (Muhammad Saw) secara tartil (bertajwid)” (Q.S. Al-Furqaan: 32)

Dalam ayat tersebut, Allah Swt menerangkan bahwa al-Qur’an di turunkan sedikit demi sedikit agar dapat disampaikan dengan tenang dan pelan-pelan. Pelan di sini maksudnya, benar pengucapannya, benar pengucapan huruf-hurufnya, tepat panjang pendeknya serta memenuhi kaedah-kaedah bacaannya sebagaimana diterima oleh Rasulullah Saw. Hal ini sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-Qiyamah ayat 16 dan 17 yaitu:

لاتحرك به لسانك لتعجل به. إن علينا جمعه وقرءانه (القيمة: ١٦-١٧) 

Artinya: “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.  (Al-Qiyamah: 16-17)

b.  Dasar Hukum dari Hadits

“Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash ra. dari Nabi Saw., sabdanya: “Dikatakanlah (nanti ketika akan masuk surga) kepada orang yang mempunyai Al-Qur’an (yakni gemar membaca, mengingat-ingat kandungannya serta mengamalkan isinya) “Bacalah dan naiklah derajatmu (dalam surga) serta tartilkanlah (yakni membaca perlahan-lahan) sebagaimana engkau mentartilkannya dulu ketika di dunia, sebab sesungguhnya  tempat kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca”. (maksudnya kalau membaca

seluruhnya adalah tertinggi kedudukannya dan kalau tidak, tentulah di bawahnya itu menurut kadar banyak sedikitnya bacaan)”. Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Tirmidzi mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan shahih

Adapun dasar hukum membaca al-Qur’an mesti mengikuti tajwidnya juga terdapat dalam hadis Rasulullah Saw, diantaranya adalah sebagai berikut:

عن عائشة انه ذكر لها ان ناسا يقرءون القران فى الليل مرة او مرتين فقالت: اولئك قراوا ولم يقرءوا, كنت افوم مع النبى صلى الله عليه وسلم ليلة التمام فكان يقرا سورة البقرة وال عمران والنساء فلا يمر باية فيها تخوف الا دعا الله واستعا ذولا يمر باية فيها استبشار الا دعا الله ورغب اليه (رواه أحمد)                                                                 

Artinya: “Dari Siti Aisyah ra kepadanya pernah disampaikan bahwa ada orang yang dapat membaca al-Qur’an dalam satu malam sekali atau dua kali tamat. Aisyah berkata, mereka merasa membaca tetapi tidak. Aku pernah bersama Rasulullah Saw satu malam penuh, Rasul hanya sempat membaca surat Al-Baqarah, Ali-Imran dan An-nisa’. Bila bertemu dengan ayat azab Rasul tidak meneruskan bacaannya hingga ia berdoa mohon perlindungan. Begitu pula ia tidak meneruskan bacaan bila bertemu dengan ayat yang mengembirakan hingga ia berdoa serta mengharapkannya. (HR. Ahmad). 

Dalam hadis yang lain dijelaskan bahwa:

عن ابى حمزة قال: قلت لابن عباس انى سريع القراءة وانى اقرا القران فى ثلاث فقال لان اقرا البقرة فى ليلة فادبرها وارتلها احب الى من ان اقرا كما تقول (رواه                                                               

Artinya: “Dari Abi Hamzah ia berkata, aku pernah berkata kepada Ibnu Abbas bahwa aku cepat membaca dan dapat menamatkan al-Qur’an dalam tiga hari. Ibnu Abbas menjawab, membaca surat al-Baqarah dalam semalam dengan memperhatikan isinya dan tartil lebih baik dan lebih aku senangi dari apa yang engkau katakan”. 

Demikian juga sebagaimana terdapat dalam hadis berikut ini:

عن خذيفة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم انه قال: اقرءوا القران بلحون العرب, زاد الطبرانى فى الاوسط والبيهقى فى شعب الايمان, واصواتها – واياكم ولحون اهل الفسق والكبائر, وفى رواية اهل الفسق واهل الكبائر .... فانه سيجىء اقوام من بعدى برجعون القران ترجيع الغناء والهبانية والنوح لايجاوحنا جرهم مفتونة قلوبهم وقلوب من يعجبهم شانهم (رواه مالك والنسائى)                                          

Artinya: “Dari Khuzaifah yang berkata bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda, bacalah al-Qur’an dengan langgam Arab. Imam Tabrani dan Baihaqi dalam kitabnya menambah (dan suaranya). Berhati-hatilah dengan langgam orang fasik dan berdoasa besar. Sesudahku nanti akan ada kelompok orang yang melagukan Al-Qur’an bagai nyanyian dan seperti nyanyian di gereja dan meratap. Bacaan mereka tidak keluar dari batas kerongkongan saja. Hati mereka dan orang yang mengaguminya telah jauh menyimpang dari kebenaran. 

Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa bacaan pelan-pelan dan hati-hati serta penuh dengan pengertian itulah yang lebih utama walaupun jumlah yang dibaca sedikit. Lebih jelas lagi dalam hadist terakhir dimana Rasulullah Saw memerintahkan agar al-Qur’an dibacakan dengan langgam Arab. Maksudnya dengan ucapan Arab yang fasih karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Rasul mengingatkan jangan membaca dengan sombong hingga merusak bacaan, jangan melagukan bacaan seperti nyanyian gereja atau dengan mimik yang dibuat sedih semata-mata untuk mempengaruhi pendengar dan bukan karena khusyu’. Orang yang masih berbuat seperti itu tidak akan mendapat pahala dari bacaannya. Manfaat yang didapatkan hanya sebatas pada bunyi suara di kerongkongannya saja. 

Masih banyak hadist-hadist Rasulullah Saw yang berhubungan dengan cara membaca al-Qur’an secara tajwid yang pada prinsipnya menjelaskan bahwa al-Qur’an tersebut tidak boleh dengan asal baca, namun ada kaídah-kaidah yang harus dipatuhi.

c.       Dasar Hukum dari Ijma’

Sebagai landasan ketiga tentang wajibnya membaca al-Qur’an dengan tajwid adalah ijma’ umat Islam. Bahwa sejak zaman Rasulullah Saw hingga saat ini tidak pernah terdapat seorangpun yang membantah atau sebaliknya membenarkan bacaan al-Qur’an tanpa tajwid.

Pengarang kitab Nihayah menyatakan: “Sesungguhnya telah ijma’ (sepakat) semua imam dari kalangan ulama yang dipercaya bahwa tajwid adalah suatu hal yang wajib sejak zaman Nabi Muhammad Saw sampai dengan sekarang dan tiada seorangpun yang mempertikaikan kewajiban ini”. 

Demikianlah sumber-sumber hukum membaca al-Qur’an baik sumber dari al-Qur’an itu sendiri, hadis Rasulullah Saw maupun dari pendapat para ulama yang semua sumber tersebut menjelaskan bahwa al-Qur’an harus dibaca dengan pelan, tenang, ucapan yang baik dan fasih, tepat panjang pendeknya dan memenuhi semua kaidah bacaan. Bacaan yang memenuhi tata krama itulah yang disebut dengan tajwid oleh para ahli al-Qur’an.


Posting Komentar untuk " Dasar Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid"