Periodisasi Perkembangan Ilmu Fikih
1. Periode Nabi Muhammad Saw.
Tarikh Tasyri' Islam atau sejarah fikih Islam, pada hakikatnya tumbuh dan berkembang di masa Nabi, karena Nabilah yang mempunyai wewenang atas dasar wahyu untuk mentasyri‟kan hukum dan berakhir dengan wafatnya Nabi. Pada Masa Rasulullah adalah masa fikih Islam mulai tumbuh dan membentuk dirinya menjelma ke alam perwujudan. Sumber asasi yang ada pada masa ini ialah al-Qur‟an. Tentang Sunnah rasul adalah berdasarkan wahyu Ilahi yang diturunkan kepadanya. Demikian juga segala aktifitas atau perbuatan Nabi Saw. selalu dibimbing oleh wahyu Ilahi, dan semua hukum dan keputusan hukum didasarkan kepada wahyu juga. Sebagaimana diterangkan dalam firman Allah QS. An-Najm (53): 3-4 yang berbunyi:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى - ٣
dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut keinginannya.
اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ - ٤
Tidak lain (Al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),
Pada periode ini, walaupun usianya tidak panjang, namun telah meninggalkan dampak kuat dan kesan-kesan serta pengaruh yang signifikan bagi perkembangan hukum Islam. Dasar-dasar yang kulli (bersifat keseluruhan) dan dasar-dasar yang umum yang universal untuk dasar penetapan hukum bagi masalah dan peristiwa yang tidak ada nash (dalil) nya terlahir pada masa ini. Periode Nabi Saw. ini terbagi kepada dua periode yang masing-masing mempunyai corak tersendiri, yaitu periode Makkah dan Periode Madinah.
a. Periode Makkah
Periode pertama dalam periode Nabi ialah periode Makkah, yakni masa selama Nabi Saw. menetap dan berkedudukan di Makkah selama 12 tahun dan beberapa bulan, semenjak beliau diangkat menjadi Nabi hingga beliau berhijrah ke Madinah. Dalam masa ini, Umat Islam masih sedikit dan masih lemah, belum dapat membentuk dirinya sebagai kelompok yang mempunyai kedaulatan dan kekuasaan yang kuat.
Nabi telah mencurahkan Tauhid ke dalam jiwa masing-masing individu dalam masyarakat arab serta menjauhkan manusia dari menyembah berhala menuju penghambaan yang nyata, disamping beliau menjaga diri dari aneka rupa gangguan bangsanya. Pada masa ini belum banyak hal-hal yang mendorong Nabi Saw. untuk mengadakan hukum atau undang-undang. Oleh karena itu, tidak ada ayat-ayat hukum di dalam surat Makkiyah seperti surat Yunus, Ar-Ra‟du, Yasin, Al-Furqon dan sebagainya. Kebanyakan ayat- ayat Makkiyah berisikan hal-hal yang orientaasinya akidah, akhlak dan sejarah.
b. Periode Madinah
Periode kedua dalam periode nabi ialah periode Madinah, Yakni masa dimana Nabi Saw. telah berhijrah ke Madinah dan menetap di sana selama 10 tahun sampai Beliau wafat. Dalam masa inilah umat Islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus bertambah. Nabi Saw. mulai membentuk suatu masyarakat Islam yang berkedaulatan. Karena itu timbulah keperluan untuk membentuk syariat dan peraturan-peraturan bagi masyarakat guna mengatur hubungan antar anggota masyarakat satu dengan lainnya dan hubungan mereka dengan umat lainnya dalam tatanan kehidupan sehari-hari.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka disyariatkan hukum-hukum perkawinan, thalaq, wasiat, jual beli, sewa, hutang-piutang dan semua transaksi. Demikian juga yang berhubungan dengan pemeliharaan keamanan dalam masyarakat, dengan adanya hukum pidana dan lain sebagainya. Karena itulah surat-surat Madaniyah, seperti Surat al-Baqarah, Ali Imran, an-Nisa‟, al-Maidah, al-Anfal, at-Taubah, an-Nur dan sebagainya banyak mengandung ayat-ayat hukum di samping mengandung ayat-ayat aqidah, akhlak, sejarah dan lain-lain.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa selama Periode Makkah hampir tidak ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang penetapan hukum, karena masa ini merupakan masa pembentukan pondasi ketauhidan Islam. Ayat-ayat yang diturunkan adalah ayat-ayat aqidah. Berbeda dengan masa Madinah di mana ayat-ayat tentang hukum dan pranata sosial mendominasi, sehingga indikasi penetapan hukum terlihat lebih jelas.
Tidak semua ayat hukum itu memberikan penjelasan yang mudah difahami untuk kemudian dilaksanakan secara praktis sesuai dengan kehendak Allah. Oleh karena itu Nabi Saw. memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukum itu kepada umatnya, sehingga ayat-ayat yang tadinya belum dalam bentuk petunjuk praktis, menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan ucapan, perbuatan, dan pengakuannya yang kemudian disebut Sunnah Nabi.
2. Periode Sahabat
Periode kedua ini berkembang sejak wafatya Nabi Muhammad Saw. dan berakhir pada masa Muawiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai khalifah pada tahun 41 H. Pada periode ini hiduplah sahabat-sahabat Nabi terkemuka yang mengibarkan bendera dakwah Islam. Pada periode ini Islam semakin dikenal luas dan dianut oleh orang-orang yang tinggal di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat Islam itu sendiri, yang mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pada periode sahabat ini pada bidang hukum ditandai dengan penafsiran para sahabat dan ijtihadnya dalam kasus-kasus yang tidak ada nashnya, disamping itu juga terjadi hal-hal yng tidak menguntungkan yaitu perpecahan masyarakat Islam yang bertentangan sacara tajam.
Di periode sahabat ini, kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum syariat yang sempurna berupa Al-Qur‟an, Hadis, ijma‟ dan qiyas. Adat istiadat dan peraturan peraturan berbagai daerah yang bernaungan di bawah Islam tak luput ikut memperkaya aturan- aturan yang berlaku. Dapat ditegaskan pada bahwa zaman khulafaur Rasyidin dalil-dalil tasyri‟ Islam telah lengkap. Sahabat-sahabat besar dalam periode ini menafsirkan nash- nash hukum dari al-Qur‟am maupun hadist, yang kemudian menjadi pegangan untuk menafsirkan dan menjelaskan nash-nash.
Selain itu, para sahabat memberi fatwa-fatwa dalam berbagai masalah terhadap kejadian-kejadian yang tidak ada nash yang jelas mengenai masalah itu, yang kemudian menjadi dasar ijtihad. Dalam hal ini, tidaklah menyalahi jika apa yang dilakukan oleh para sahabat juga bisa dijadikan pegangan oleh para tabi'in. Ini selaras dengan Sabda Nabi Saw. yang berbunyi:
أصحابي كالنُّجومِ، بأيِّهم اقتَدَيْتم اهتَدَيْتُم
Artinya: "Para Sahabatku laksana bintang-bintang (dalam kegelapan malam) dengan siapa saja kalian mengikuti, maka kalian akan mendapatkan petunjuk"
Tatkala Nabi Saw. bersabda, maka para sahabat secara langsung mengambil ilmu dari beliau. Ketika ada suatu permasalahan, maka sahabat tak sungkan untuk bertanya kepada sumbernya langsung, sehingga segala sesuatunya menjadi jelas. Hanya saja, pada periode ini, belum ada pembukuan fikih, maksudnya adalah bahwa fikih hanya dikaji tanpa adanya suatu catatan-catatan yang bisa dibaca oleh generasi setelahnya.
3. Periode Tadwin
Pemerintah Islam pasca keruntuhan Daulah Umayyah segera digantikan oleh Daulah Abbasiyyah. Masa Abbasiah ini disebut juga masa pembukuan fikih, karena pada masa ini terjadi pembukuan dan penyempurnaan fikih. Pada masa Abbasiyyah ini, yang dimulai dari pertengahan adab ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4, muncul usaha-usaha pembukuan al-Hadis, Atsar Sahabat dan fatwa-fatwa tabi‟in dalam bidang fikih, tafsir, ushul al-fikih dan sebagainya.
Pada masa ini pada lahir para tokoh dalam istinbat dan perundangan-undangan Islam. Masa ini disebut Masa Keemasan Islam yang ditandai dengan berkembangannya ilmu pengetahuan yang pengaruhnya dapat dirasakan hingga sekarang. Pada masa ini muncul pula mazhab-mazhab fikih yang banyak mempengaruhi perkembangan hukum Islam. Diantaranya:
a. Imam Abu Hanifah
Beliau adalah Nu'man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan At-Taymi. Lebih dikenal dengan nama Abu Hanifah, Seorang Mujtahid dan pendiri mazhab Hanafi. Lahir di Kufah, Irak pada tahun 80 H/699 M dan meninggal di Baghdad, Irak pada tahun 150 H/767 M.
Beliau merupakan seorang tabi'in, yakni generasi setelah sahabat nabi, karena pernah bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah Saw. yang bernama Anas bin Malik dan beberapa peserta perang badar yang dimuliakan Allah Swt. yang merupakan generasi terbaik Islam. Beliau juga berguru kepadanya dalam meriwayatkan Hadis dan berbagai ilmu dari Rasulullah Saw.
Sedangkan salah satu guru Imam Abu Hanifah dalam bidang ilmu fikih adalah Syaikh Hammad bin Abi sulaiman. Beliau berguru kepada Syaikh Hammad selama 18 tahun. Ketika sang guru wafat, beliau menggantikan posisi gurunya sebagai guru besar. Imam Abu Hanifah memiliki banyak murid, dan yang paling terkenal dan getol dalam membukukan apa yang disampaikan oleh beliau adalah Syaikh Abu Yusuf. Dari Syaikh Abu yusuf inilah mazhab Hanafi terus berkembang sampai sekarang.
Di antara guru-guru Abu Hanifah ialah:
1) Hammad bin Abi Sulaiman
2) „Atha bin Abi Rabah
3) Nafi‟
Sedangkan murid-murid beliau juga sangat banyak, di antaranya yang terkemuka adalah:
1) Abu Yusuf Ya‟qub bin Ibrahim al-Ansori (w. 183 H)
2) Zufr bin Huzail al-Kufi (w. 157 H)
3) Muhammad bin Al-Hasan al-Syaibani (w. 189 H)
4) Al-Hasan bin Ziyad al-Kufi (w. 204 H)
Patut disayangkan, hasil pemikiran Imam Abu Hanifah belum terkodifikasikan. Hal ini lebih dikarenakan pada masa tersebut budaya literasi belum berkembang pesat. Segala pemikiran dan ijtihad Abu Hanifah dikembangkan dan mulai terbukukan pada masa murid-muridnya.
b. Imam Malik
Beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin 'Amr Al-Humyari Al-Asbahi Al- Madani. Terlahir di Madinah dalam sebuah keluarga yang begitu mencintai ilmu terutama Sunnah dan atsar sahabat, pada tahun 714 M/93 H dan wafat pada tahun 800M/179 H. beliau dikenal memiliki kecerdasan yang luar biasa, sehingga mampu menghafal banyak hadis tanpa tertukar antara satu hadis dengan hadis lainnya.
Beliau memiliki karya yang sangat terkenal,yakni kitab Al-Muwattho'. Sebuah kitab yang memuat kompilasi hadis dan ucapan para sahabat. Diriwayatkan bahwa beliau memiliki beberapa karya lain tetapi tidak masyhur seperti Muwattho‟. Hanya saja riwayat ini masih diperdebatkan karena sumber informasi yang ada tidak banyak dan hanya diriwayatkan melalui beberapa orang saja. Di antara karya-karya tersebut ialah:
1) Risalah fi al-Radd ala al-Qadariyah
2) Risalah fi al-Aqdhiyah
3) Tafsir Gharib al-Qur‟an
Adapun pemikiran Imam Malik di dalam Fikih, seperti halnya Imam Hanafi, belum sampai terbukukan. Para murid Imam Maliklah yang mengabadikan pemikiran beliau ke dalam kitab-kitab Fikih.
Imam Malik juga dikenal sebagai salah satu mujtahid mutlak, pendiri mazhab maliki yang dalam perkembangannya banyak digunakan di daerah Madinah dan sebagian Makkah. Sejak kecil Imam Malik telah menimba ilmu dari banyak ulama, di antaranya ialah:
1) Nafi'
2) Abdullah bin Yazid bin Hurmuz (w. 148 H)
3) Abdullah bin Dzakwan atau Abu Zanad (w. 130 H)
4) Ibnu Syihab Az-Zuhri
5) Rabi‟ah bin Abi Abd Rahman (w. 136 H)
6) Yahya bin Sa‟d al-Anshari (w. 143 H)
Adapun murid-murid Imam Malik yang terkenal antara lain:
1) Abd Rahman bin al-Qasim (w. 191 H). Beliau belajar kepada Imam Malik sekitar 20 tahun.
2) Abdullah bin Wahb (w. 199 H). Imam Malik menyebutnya sebagai ahli hukum dari Mesir. Memiliki beberapa karya tulis, juga pernah menjabat sebagai seorang hakim.
3) Usman bin al-Hakam (w. 163 H). Beliau dikenal sebagai salah satu tokoh yang memperkenalkan madzhab Maliki di Mesir.
4) Ali bin Ziyad (w. 183 H)
5) Abdullah bin Nafi‟ (w. 186 H). Belajar kepada Imam Malik sekitar 40 tahun.
Dan beliau menggantikan Imam Malik menjadi mufti di Madinah.
6) Ziyad bin Abd Rahman al-Qurthubi (w. 193 H). Salah satu tokoh yang pertama kali mengenalkan madzhab Maliki di Andalus (Spanyol).
7) Muhammad bin Idris (w. 204 H). Salah satu murid Imam Malik yang kemudian juga mencetuskan madzhab baru yaitu madzhab Syafi‟i.
c. Imam Asy-Syafi'i
Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i Al-Muttholibi Al- Quraisy. Seorang mufti besar sunni Islam dan pendiri mazhab Syafi'i. Lahir di Pales- tina tahun 150 H/767 M dan wafat di Mesir tahun 204 H/819 M. Beliau masih tergolong kerabat nabi melalui jalur kakeknya yang bernama Al-Muttholib, yakni saudara dari Hasyim yang merupakan kakek Nabi Saw.
Dalam perjalanan hidupnya, setelah ayah beliau meninggal dan dua tahun ke- lahirannya, sang ibu membawanya ke Makkah, tanah air nenek moyangnya. Di Mak- kah, asy-Syafi'i kecil belajar fikih kepada mufti disana, Syaikh Muslim bin Kholid Az- Zanji sampai beliau mengizinkan Asy-Syafi‟i kecil memberikan fatwa ketika masih berumur 15 tahun. Kemudian Asy-Syafi‟i remaja berguru kepada Imam Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar dan masih banyak lagi guru-guru beliau.
Ketika Asy-Syafi'i kecil berumur 9 tahun, ia pergi ke Madinah dan berguru fikih kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattho' kepada Imam Malik dan mampu menghafalkannya hanya dalam 9 malam saja. Setelah Imam Asy-Syafi'i de- wasa, dengan segala ilmu yang telah Ia pelajari, Ia mulai berijtihad dan berfatwa serta produktif dalam menulis kitab-kitab konseptual nan praktis sebagai media rujukan kaum muslim dalam menjalankan kehidupan individual maupun sosial. Buah dari ijtihad beliau adalah mazhab syafi'iyyah yang mana mazhab ini merupakan mazhab dengan penganut terbanyak di dunia saat ini. Imam Asy-Syafi‟i terkenal dengan dua qaulnya, qaul kadim dan qaul jaded. Qaul kadim adalah pendapat Imam Asy-Syafi‟i sebelum menetap di Mesir, baik disampaikan di Irak ataupun di tempat lain. Se- dangkan qaul jaded adalah pendapat Imam Asy-Syafi‟i setelah menetap di Mesir.
Pada perjalanannya madzhab Syafi‟i berkembang menjadi madzhab terbesar, di mana penganut madzhab ini tersebar di seantero dunia. Hal ini dikarenakan para ula- ma yang hidup setelah Imam Asy-Syafi‟i dan mengikuti madzhabnya begitu antusias mengembangkan konsep yang telah dicetuskan oleh pendiri madzhab. Di antara ula- ma Syafi‟iyyah yang terkemuka ialah:
1) Abu al-Hasan Ali Muhammad bin Habib al-Mawardi (w. 450 H)
2) Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w. 676 H)
3) Jalaluddin al-Mahalli (w. 864 H)
4) Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H)
Adapun kitab-kitab yang terkenal di dalam madzhab ini antara lain:
1) Al-Umm
2) Raudlatu at-Thalibin
3) Syarah Minhaju at-Thalibin.
d. Imam Ahmad Bin Hambal
Ahmad bin Hanbal lahir di Baghdad, pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H. Pada nasabnya, ia bernama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal dari kalangan Bani Syaiban, salah satu kabilah di Arab. Nama Ahmad bin Hanbal ini disandarkan pada kakeknya. Sebagaimana dicatat Ad-Dzahabi dalam kitab Siyar A‟lam an Nubala‟, ayahnya adalah seorang pimpinan militer di Khurasan.
Saat masih kanak-kanak, Ahmad bin Hanbal ditinggal wafat oleh ayahnya yang gugur dalam pertempuran melawan Bizantium. Sedangkan kakeknya, Hanbal, adalah seorang gubernur pada masa Dinasti Umayyah. Banyak ulama menyebutkan bahwa Imam Ahmad berkutat mencari ilmu di Baghdad dan sekitarnya sampai usia 19 tahun. Setelah menghafal al Qur'an di usia belia, ia mulai mengumpulkan hadis dan mendalami fikih sejak umur 15 tahun.
Setelah masa-masa di Baghdad, ia berkelana ke banyak daerah, seperti Kufah, Basrah, Makkah, Madinah, Yaman dan Syam, guna berguru kepada ulama terkemuka setempat. Para periwayat hadis banyak sekali tercatat pernah tinggal, atau setidaknya, singgah di Baghdad. Para tokoh ulama ini diabadikan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Oleh sebab itu Ahmad bin Hanbal begitu terpengaruh oleh mereka, dan nantinya merupakan salah satu kalangan ahlul hadis terkemuka. Sebagian besar kekayaan ilmu Ahmad Ibn Hanbal diperoleh di kota kelahirannya, Baghdad.
Sebagai sosok yang besar di sana pada kurun abad ke-2 hijriah, Ahmad bin Hanbal berada dalam pusaran keilmuan Islam. Berkat ketekunannya mengumpulkan hadis, Ahmad bin Hanbal memiliki hafalan hadis yang banyak sekali. Ini membuatnya sangat kompeten dalam periwayatan hadis, dan segera menjadi salah satu tokoh terkemuka di bidang tersebut.
Di samping itu, ilmu fikih mulai banyak dikembangkan pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Saat Mu‟awiyah Ibnu Abi Sufyan mengambil alih kekuasaan dari Ali bin Abi Thalib, pusat pemerintahan dipindahkan dari Madinah ke Damaskus. Kemudian ketika Abbasiyah mengambil alih kekuasaan dari Bani Umayyah, pusat kerajaan atau ibu kota politik dunia islam dipindah ke kota Baghdad.
Beliau belajar kepada para guru tersohor, seperti Syekh Abu Yusuf, salah satu murid utama Abu Hanifah, kemudian Abdur Razzaq, salah satu generasi pemula penyusun kitab hadis, serta Imam asy-Syafi'i. Ketika Imam asy-Syafi‟i tinggal di Baghdad, Ahmad Ibn Hanbal rajin mengikuti halaqahnya. Kedalaman ilmu fikih dan hadisnya menjadikan pribadi Ahmad ibn Hanbal sebagai pribadi yang unggul di majelis Imam asy-Syafi‟i. Imam asy-Syafi‟i juga tercatat berjumpa dengan Imam Ahmad di dataran Hijaz saat Imam Ahmad sedang melakukan haji, serta saat Imam As-Syafi‟i sedang berkunjung ke Irak.
Imam Asy-Syafi'i pun memuji sosok Imam Ahmad bin Hanbal: “Aku keluar dari Irak, dan tiada kutemui orang yang lebih mumpuni ilmunya dan zuhud dibanding Ahmad bin Hanbal,” tutur beliau. Ia digambarkan para muridnya sebagai pribadi yang wara‟, santun, dan ramah. Ahmad bin Hanbal fokus menimba ilmu, dan baru menikah pada usia 40 tahun. Di usia itu, dengan perbendaharaan ilmu yang kaya khususnya dalam bidang hadis dan fikih, Ahmad mendirikan majelis tersendiri di kota Baghdad. Oleh beberapa ulama ia dinilai mengikuti jejak Imam Abu Hanifah yang membuka majelis saat usia serupa, dan dianggap baru memberanikan diri membuka majelis usai wafatnya Imam Asy-Syafi‟i sebagai bentuk takzim. Dari majelis ini pula, Ahmad bin Hanbal mulai merumuskan dasar-dasar mazhabnya, mengeluarkan fatwa, dan membimbing murid-muridnya.
Pada masa selanjutnya, madzhab ini semakin disebarkan oleh para ulama yang megikutinya. Di antara kitab-kitab yang terkenal di dalam madzhab Hambali adalah:
1) Al-Inshaf
2) Al-Mughni
3) Al-„Umdah fi al-Fiqh
4) Al-Iqna‟
Faktor utama yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah berkembanganya ilmu pengetahuan di dunia Islam. Berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam disebabkan oleh hal-hal berikut. Pertama, adanya penterjemahan buku- buku Yunani, persia, Romawi, dan sebagainya ke dalam bahasa Arab. Kedua, luasnya ilmu pengetahuan. Ketiga, adanya upaya umat Islam untuk melestarikan isi dalam kandungan Al-Qur‟an, Al-Hadis, ijma' dan qiyas secara teoritis dan praktis.
4. Periode Taqlid
Sejak akhir pemerintahan Abbasiyyah, tampaknya kemunduran berijtihad sehingga sikap taqlid berangsur-angsur tumbuh merata di kalangan umat Islam. Yang di maksud
dengan masa taqlid adalah masa ketika semangat (himmah) para ulama untuk melakukan ijtihad mutlak mulai melemah dan mereka kembali kepada dasar tasyri‟ yang asasi dalam peng-istinbath-an hukum dari nash al-Qur‟an dan Sunnah.
a. Sebab-sebab Taqlid
Secara umum sikap taqlid disebabkan oleh keterbelengguan akal pikiran sebagai akibat hilangnya kebebasan berfikir. Sikap taqlid disebabkan pula oleh adanya para ulama saat itu yang kehilangan kepercayaan diri untuk berijtihad secara mandiri. Mereka menganggap para pendiri mazhab lebih cerdas ketimbang dirinya. Sikap taqlid juga disebabkan oleh banyaknya kitab fikih dan berkembangnya sikap berlebihan dalam melakukan kitab-kitab fikih. Hilangnya kecerdasan individu dan merajalelanya hidup materialistik turut mempertajam munculnya sikap taqlid.
b. Aktifitas Ulama di masa Taqlid
Masa taqlid disebut juga masa para fuqaha mempropagandakan mazhab dan aliran mereka masing-masing. Mereka menulis kitab-kitab yang menjelaskan keistimewaan imam mereka masing-masing dan memberi fatwa pula bahwa orang yang bertaqlid (muqallid) tidak boleh menggabungkan mazhab satu dengan mazhab lainnya. Pada masa ini kitab-kitab para ulama mazhab dapat dikategorikan kepada tiga kelompok, yaitu matan, syarh dan hasyiyah. Matan adalah kumpulan masalah-masalah pokok yang disusun dengan bahasa yang sederhana dan mudah. Syarh merupakan komentar dari kitab matan agar lebih terperinci. Sedangkan hasyiyah adalah komentar dari syarh yang dirasa masih perlu dijabarkan atau diperinci kembali.
Posting Komentar untuk "Periodisasi Perkembangan Ilmu Fikih"