Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Taharah : Pengertian, Alat, Metode dan Caranya

 
Taharah : Pengertian, Alat, Metode dan Caranya

A. Pengertian Taharah

Taharah berasal dari Bahasa Arab, satu sinonim dengan kata an-nadzifah yang berarti bersih, yaitu bersih dari segala bentuk kotoran, baik yang kasat mata sebagaimana najis atau pun yang abstrak (tidak berwujud) sebagaimana aib. Sedangkan menurut istilah adalah melakukan ritual ibadah yang dapat menjadi penyebab diperbolehkannya mendirikan shalat, seperti wudhu, tayammum, mandi dan lain sebagainya.

B.  Alat Taharah

Alat Taharah meliputi air, debu, alat penyamak dan batu istinja'. Alat-alat Taharah ini menurut pendapat ulama‟ Mazhab Syafi‟i, sementara menurut pendapat ulama Mazhab Hanafi mengeringkan cahaya matahari atau udara juga merupakan salah satu jenis alat bersuci. Berikut ini uraiannya:

1.   Air

Air terbagi menjadi empat, yaitu:

a.   Air suci, mensucikan dan tidak makruh digunakan (thahir muthahhir gairu makruh isti‘maluh) pada  anggota  tubuh  atau  disebut  juga  dengan  air  mutlak.  Secara definitif, air mutlak adalah air yang tidak memiliki identitas yang menetap (qayyid lazim) seperti air sumur, air laut, air sungai dan sebagainya. Ini mengecualikan seperti air teh, jika dipindah kemanapun tempatnya akan selalu disebut dengan air teh.
Macam-macam air mutlak yang bisa dipakai untuk bersuci ada tujuh yaitu: 
(a) Air hujan; 
(b) air laut; 
(c) air sungai; 
(d) air sumur; 
(e) air sumber; 
(f) air es (salju); dan 
(g) air embun. 
Ketujuh macam air ini kemudian disederhanakan lagi menjadi dua kelompok yaitu air yang turun dari langit dan air sumber yang keluar dari bumi. Di antara ayat yang menjelaskan tentang ini yaitu firman Allah Swt.:

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِ

Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu

Rasulullah Saw. bersabda:
"ada seorang laki datang kepada Rasulullah Saw. kemudian bertanya: "wahai Rasulullah kami naik kapal laut sementara kami hanya membawa sedikit air. Jika kami berwudu dengan air itu maka bisa haus, apa kami harus wudu dengan air itu?"  Rasulullah  menjawab:  "laut  itu  suci  airnya,  bangkainya  halal."  (HR. Tirmizi wa gairuhu)

b.   Air suci mensucikan tetapi makruh digunakan (thahir muthahhir makruh  isti‘maluh) pada anggota tubuh, yaitu air yang dipanaskan di terik matahari (musyammas). Air ini dihukumi makruh Ketika memenuhi 9 ketentuan berikut:
1)  Dipanaskan dengan sengatan sinar matahari di daerah yang bersuhu panas, seperti daerah Hijaz (Makkah dan Madinah) selain daerah Thaif. Ketentuan ini mengecualikan daerah yang bersuhu dingin seperti daerah Suriah dan daerah yang bersuhu sedang seperti negara Mesir, kota Cirebon dan sebagainya.
2) Sengatan sinar matahari tersebut dapat merubah keadaan air sekira memunculkan zuh}umah yang nampak pada permukaan air.
3)  Dipanaskan dalam bejana yang terbuat dari logam, selain emas dan perak.

Seperti wadah yang tercetak dari besi, tembaga dan lain sebagainya. Ketentuan ini mengecualikan praktek penjemuran air dalam wadah wadah selain dari logam, seperti bejana tanah liat, plastic dan lain sebagainya.
4)  Digunakan ketika masih dalam keadaan panas
5)  Digunakan pada anggota tubuh, meliputi anggota tubuh orang yang hidup, orang yang sudah meninggal, orang sehat, orang yang mengindap penyakit kusta dan anggota tubuh binatang yang berpotensi terserang penyakit kusta seperti kuda.
6)  Dipanaskan pada saat musim panas
7)  Masih terdapat alat bersuci selain air musyammas.
8)  Waktu untuk melaksanakan shalat masih longgar 
9)  Tidak menimbulkan dharar (bahaya) baik secara nyata atau terdapat dugaan kuat.

c.   Air suci yang tidak mensucikan (thahir ghair muthahhir), meliputi:

1)  Air Musta‘mal, yaitu air yang sudah digunakan untuk menghilangkan najis atau hadas, Walaupun sifat-sifatnya tidak berubah.
2)  Air yang berubah salah satu sifat, warna, rasa atau baunya disebabkan tercam- pur oleh benda yang suci.

d.   Air yang terkena najis (mutanajjis) meliputi:
1)  Air yang kurang dari dua qullah (174,580 liter) yang kejatuhan benda najis meskipun tidak mengalami perubahan sifat
2)  Air dua qullah yang telah berubah salah satu sifatnya.

Empat jenis air di atas, yang dapat digunakan sebagai alat bersuci hanyalah air mut- lak.

2.   Alat bersuci lain

Alat bersuci lain yaitu debu yang tidak musta‟mal, alat penyamak yang memiliki rasa pahit atau pedas, dan batu istinja' yang suci dan tidak dimulyakan 


C.  Metode Menghilangkan Hadas

Ada beberapa cara agar hadas kita bisa hilang. Di antaranya yaitu melalui wudu, mandi dan tayammum. Wudu dan mandi menggunakan media air, sedangkan tayammum menggunakan debu. Masing-masing akan dijelaskan sebagai berikut:

1.   Wudu

a.   Pengertian

Wudu secara Bahasa adalah sebutan bagi suatu pekerjaan yang mencakup fardu dan sunah. Sedangkan secara istilah adalah sebutan untuk pembasuhan beberapa anggota tubuh dengan niat dan metode tertentu.

b.   Syarat-syarat wudu

1)  Islam
2)  Tamyiz
3)  Suci dari haid dan nifas
4)  Tidak ada sesuatu yang mencegah sampainya air pada kulit 
5)  Tidak adanya benda di anggota tubuh yang dapat merubah sifat air seperti bekas minyak di tangan, hanya saja menurut Sebagian ulama hal tersebut diperbolehkan
6)  Mengetahui kefardhuan wudu, maksudnya orang yang hendak berwudu
7)  Tidak meyakini sunah pada kefardluan wudu
8)  Menggunakan air suci dan mensucikan
9)  Menghilangkan najis ainiyyah
10) Mengalirkan air pada seluruh anggota wudu
11) Niat yang jelas
12) Berlangsungnya niat secara hukmiyy sampai selesai berwudu
13) Tidak menggantungkan niat atas sesuatu
14) Dilakukan setelah masuknya waktu shalat bagi orang yang selalu berhadas (daim al-hadas)
15) Berkesinambungan bagi orang yang selalu berhadats (daim al-hadas). 

c.   Rukun-rukun wudu
1)  Niat
2)  Membasuh wajah
3)  Membasuh kedua tangan beserta kedua siku-siku
4)  Mengusap Sebagian kulit atau rambut kepala
5)  Membasuh kedua telapak kaki sampai mata kaki
6)  tertib

d.   Sunnah-sunnah wudu
1)  Membaca basmalah pada permulaan wudu
2)  Membasuh kedua telapak tangan sebelum memasukkannya kedalam wadah yang memuat air yang kurang dari dua kulah.
3)  Besiwak setelah mencuci kedua telapak tangan  atau sebelum mencuci  kedua telapak tangan
4)  Berkumur dengan menggunakan tangan kanan
5)  Menghirup air ke dalam hidung dengan menggunakan tangan kanan
6)  Menyela-nyela jenggot yang tebal
7)  Mengusap semua bagian kepala
8)  Menyela-nyela anggota yang berada di antara jari-jari kedua tangan dan kaki dengan air
9)  Mengusap telinga
10) Mengulangi sebanyak tiga kali pada semua fardlu dan sunah wudu 
11) Mendahulukan anggota bagian kanan pada kedua tangan dan kaki
12) Menggosokkan tangan pada anggota tubuh saat membasuhnya
13) Berkesinambungan (muwalah) antara satu basuhan dengan yang lainnya
14) Melebarkan basuhan pada bagian depan kepala
15) Melebarkan basuhan pada anggota di atas kedua siku
16) Melebarkan basuhan pada anggota di atas kedua mata kaki
17) Menggunakan air secukupnya
18) Menghadap kiblat saat berwudu
19) Tidak berbicara saat berwudu
20) Membaca tasyahud setelah selesai wudu dan berdoa 

e.   Hal-hal yang dapat membatalkan wudu

1)  Sesuatu yang keluar dari qubul dan dubur kecuali air mani. Baik sesuatu yang biasa keluar, seperti air seni dan tinja ataupun sesuatu yang langka seperti darah dan krikil.

2)  Hilangnya akal disebabkan tidur atau yang lain, kecuali tidurnya orang yang menempelkan pantatnya di lantai. Berikut syarat-syarat tidur yang tidak membat- alkan wudu:
a) Lubang dubur ditempelkan pada lantai sekira tidak mungkin mengeluarkan angin
b) Orang tersebut tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus 
c) Bangun dari tidur sesuai dengan kondisi saat ia tidur
d) Tidak ada orang ma'shum yang memberi kabar atas keluarnya angin di saat tidur menurut Imam Ramli. Sedangkan menurut Imam Ibnu Hajar cukup menggunakan kabarnya orang adil.
e) Bersentuhan  kulit  dengan  lawan  jenis  yang  tidak  ada  hubungan  mahram dengan tanpa adanya penghalang. 

Berikut syarat-syarat bersentuhan kulit yang dapat membatalkan wudu: 
(1) Persentuhan tersebut menggunakan kulit; 
(2) Berlawanan jenis; 
(3) Sama-sama dewasa sekira keduanya mencapai batasan syahwat  secara  'urf;  (4) Tidak ada  hubungan  mahram;  dan 
(5) Tidak ada penghalang.

3)  Menyentuh qubul atau lubang dubur dengan telapak tangan atau jari-jari bagian dalam (anggota telapak tangan maupun jari-jari yang tidak kelihatan ketika diper- temukan dengan telapak tangan yang lain dengan adanya sedikit tekanan). 

2.   Mandi

Mandi menurut bahasa yaitu mengalirkan air pada sesuatu secara mutlak. Se- dangkan pengertian mandi menurut istilah ahli fikih yaitu mengalirnya air pada seluruh badan dengan niat tertentu.

a.   Sebab-sebab yang mewajibkan mandi

Sebab-sebab yang mewajibkan mandi ada dua jenis. Pertama, sebab-sebab yang di- alami oleh orang laki-laki dan perempuan. Dan kedua, sebab-sebab yang hanya di- alami oleh orang perempuan saja.
Sebab-sebab yang dialami oleh orang laki-laki dan perempuan ada tiga macam:

1)  Persetubuhan
2)  Keluarnya air mani
3)  Mati kecuali mati syahid dunia akhirat. 
Mati syahid ada tiga macam; pertama, mati syahid dunia akhirat, seperti mati dalam peperangan dalam membela agama Islam. Mayit ini tidak perlu dimandikan dan dishalati. Kedua, syahid dunia, seperti mati dalam peperangan namun ada unsur riya' dalam dirinya. Mayit seperti ini dirawat secara sempurna. Ketiga, syahid akhirat, seperti mati karena sakit perut, tenggelam, melahirkan, kebakaran, bencana, menuntut ilmu. Mayit seperti ini dirawat secara sempurna.
Sementara sebab-sebab khusus yang hanya dialami oleh kaum perempuan ada tiga macam yaitu:
1)  Haid
2)  Nifas
3)  Melahirkan

b.   Rukun-rukun mandi

1) niat
2) menghilangkan najis apabila ada di anggota badan orang yang sedang mandi
3) meratakan air ke seluruh rambut dan kulit badan 

c.   Sunnah-sunnah mandi
1)  membaca basmalah
2)  wudu sebelum mandi
3)  menjalankan tangan ke seluruh anggota badan
4)  muwalah
5)  mendahulukan anggota tubuh bagian kanan daripada anggota bagian kiri. 

d.   Mandi-mandi sunnah
1)  mandi Jum‘at
2)  mandi dua hari raya
3)  mandi akan melaksanakan shalat istisqa'
4)  mandi akan melaksanakan shalat gerhana matahari atau bulan
5)  mandi karena selesai memandikan mayit
6)  mandi karena baru masuk Islam
7)  mandinya orang gila, orang pingsan/epilepsi ketika mereka sembuh
8)  mandi karena hendak melakukan ihram
9)  mandi sewaktu masuk kota Makkah
10) mandi karena hendak melakukan wukuf di Arafah
11) mandi karena bermalam di Muzdalifah
12) mandi karena hendak melakukan tawaf

3.   Tayammum

Tayammum secara bahasa berarti kesengajaan (al-qasdu). Sementara menurut syara‘ yaitu mendatangkan debu yang suci sampai ke wajah dan kedua tangan sebagai ganti wudu, mandi atau membasuh anggota dengan syarat-syarat tertentu.

a.   Syarat-syarat tayammum ada lima yaitu:
1)  Adanya halangan (‘uzur ) baik bepergian ataupun sakit
2)  waktunya shalat telah masuk
3)  Sesudah waktunya shalat masuk, harus mencari air terlebih dahulu
4)  Berhalangan menggunakan air
5)  Menggunakan debu yang suci. 

b.   Fardu tayammum ada empat, yaitu:
1)  Niat
2)  Mengusap wajah
3)  Mengusap kedua tangan
4)  Tertib.

c.   Sunah-sunah tayammum ada tiga, yaitu:
1)  Membaca basmalah
2)  Mendahulukan tangan yang sebelah kanan daripada kiri. Begitu pula menda- hulukan bagian wajah atas daripada bagian bawah
3)  Terus-menerus dengan segera (Muwa>lah) 

d.   Sesuatu yang membatalkan tayammum ada tiga, yaitu:
1)  Segala sesuatu yang dapat membatalkan wudu juga membatalkan tayammum
2)  Melihat ada air
3)  Murtad.

D.  Hal-Hal yang Dilarang bagi Orang yang Berhadas

1.   Bagi orang yang berhadas kecil

a)  Mengerjakan shalat baik shalat fardu, sunnah, sujud sahwi, sujud syukur dan khutbah Jum‟at
b)  Tawaf baik tawaf fardu atau sunnah
c) Memegang atau membawa mushaf kecuali jika keadaan terpaksa untuk men- jaganya agar tidak rusak. Misalnya, menjaganya agar tidak terbakar atau tenggelam. Jika keadaan demikian maka menjaganya menjadi wajib. Mushaf yaitu setiap benda yang ditulisi ayat al-Qur‟an dengan tujuan belajar (dirasah) mencakup kertas, papan tulis tembok dan lain sebagainya. Menurut Abu Hanifah me- megang dan membawa mushaf bagi orang yang tidak suci diperbolehkan dengan menggunakan penghalang (hail). Sementara menurut Ibn Taimiyah diperbolehkan jika dalam kondisi uzur, seperti pengajar yang sedang menstruasi.

2.   Bagi orang yang berhadas besar (Junub)

a)  Mengerjakan shalat baik shalat fardu, sunnah, sujud sahwi, sujud syukur dan khutbah Jum‟at
b)  Tawaf baik tawaf fardu atau sunnah 
c)  Memegang atau membawa mushaf
d)  Membaca  al-Qur‟an. Hukum  membaca  al-Qur‟an  bagi  orang  junub  dan  haid
menurut mazhab Syafi‟i dirinci: 
(1) haram, dalam melantunkan ayat al-Qur‟an bertujuan murni membaca atau disertai dengan tujuan lain; 
(2) khilaf, dalam melantunkan ayat al-Qur‟an murni bertujuan zikir atau tidak memiliki tujuan pasti. Menurut mayoritas ulama diperbolehkan secara mutlak, namun menurut al- Zarkasyi haram jika rangkaian ayat yang dibaca hanya ada di al-Qur‟an saja, berbeda jika rangkaian ayat itu juga ditemukan di selain al-Qur‟an. Sementara menurut mazhab lain seperti Hanabilah orang junub dan haid haram membaca al-Qur‟an, berbeda dengan Hanafiyah orang junub dan haid boleh membaca sebagian ayat saja tetapi tidak sempurna satu ayat. 
e)  Mondar-mandir di masjid
f) Berdiam diri di masjid. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum berdiam diri di masjid bagi wanita haid/nifas dan orang junub. Mayoritas ulama Syaifi‟iyah dan Malikiyah mengharamkan. Sementara, menurut Mazhab Hanafiyah ber- pendapat bahwa wanita haid/nifas haram berdiam diri di masjid kecuali berada di Masjidil Haram karena bertujuan tawaf, dan bagi orang junub haram. Berbeda lagi, menurut pendapat ulama Hanabilah, bagi orang haid/nifas sebagian memper- bolehkan dengan syarat berwudu dulu dan tidak khawatir darahnya menetes, se- mentara bagi orang junub boleh dengan syarat berwudu dulu.

3.   Bagi Orang yang Haid dan Nifas

a)  Mengerjakan shalat baik shalat fardu, sunnah, sujud sahwi dan sujud syukur 
b)  Puasa
c)  tawaf
d)  Membaca al-Qur‟an
e)  Menyentuh atau membawa mushaf 
f)   Berdiam diri di masjid
g)  Senggama

E.  Metode Menghilangkan Najis

Najis secara bahasa berarti sesuatu yang menjijikkan, sedangkan menurut istilah ahli fikih, najis adalah setiap benda yang haram memperolehnya (dimakan maupun diminum) secara mutlak, dalam keadaan leluasa serta mudah untuk membedakannya, keharamannya bukan karena kehormatan suatu benda, menjijikkan dan berbahaya terhadap tubuh dan akal. Maksud dari kata "haram memperolehnya" di atas adalah haram dimakan atau diminum, sedangkan kata "mutlak" di atas maksudnya yaitu najis yang sedikit atau banyak, sementara kata   "keadaan   leluasa"   yaitu   mengecualikan   keadaan   darurat   yang  memperbolehkan memakan benda najis. Dan kata "serta mudah untuk membedakan" itu mengecualikan memakan ulat yang sudah mati yang terdapat di keju, buah-buahan dan lain sebagainya.
Semua benda menurut hukum asal adalah suci, selama tidak ada dalil yang menunjuk kan benda itu najis. Ada beberapa benda yang dzatnya memang najis menurut syara', di antaranya yaitu; 
(1) bangkai binatang darat 
(2) darah 
(3) nanah 
(4) segala benda cair yang keluar dari qubul dan dubur 
(5) arak 
(6) anjing dan babi 
(7) bagian badan binatang yang di- ambil dari tubuhnya selagi hidup. Semua benda najis di atas tidak dapat disucikan kecuali arak. Arak akan menjadi suci apabila berubah menjadi cuka dengan sendirinya, tanpa ada perantara usaha manusia. Begitu juga kulit bangkai dapat dicuci dengan cara disamak.
Selain benda najis, adapula benda suci yang terkena najis yang disebut dengan benda mutanajjis. Benda ini bisa disucikan tergantung jenis najis apa yang mengenainya. Berikut uraiannya:

1.   Najis mugallazah 

yaitu najis yang diperberat dalam mensucikannya, seperti najisnya anjing,  babi  dan  hewan  yang  terlahir  dari  keduanya  atau  perkawinan  silang.  Cara mensucikan benda yang terkena najis ini yaitu dengan membasuh tujuh kali basuhan setelah  menghilangkan  ‘ain (bentuk)  najisnya  terlebih  dahulu.  Kemudian  salah  satu basuhan tersebut  dicampur dengan debu. Ada tiga  cara untuk  membasuh salah satu basuhan yang dicampur dengan debu yaitu;
a.   Mencampur air dengan debu sampai air tersebut keruh. Kemudian disiramkan ke tempat/benda yang terkena najis
b.   Meletakkan debu di atas tempat/benda yang terkena najis kemudian disiram air
c.   Menyiramkan air di atas tempat yang terkena najis kemudian meletakkan debu di atasnya.

2.   Najis  mukhaffafah 

yaitu  najis  yang  diperingan  dalam  mensucikannya,  seperti  air kencingnya bayi laki-laki yang belum mengkonsumsi apapun kecuali ASI dan belum berusia 2 tahun. Cara membersihkan najis ini adalah dengan memercikkan air pada najis tersebut dengan syarat kadar air lebih dominan dari najisnya meskipun air itu tidak mengalir. Hal tersebut dilakukan setelah membersihkan ‘ayn dan sifat-sifatnya najis.

3.   Najis mutawassitah 

yaitu selain najis-najis yang telah disebutkan di atas, seperti kotoran hewan  dan  lain  sebagainya.  Najis  ini  terbagi  menjadi  dua  bagian  yaitu:  
(1)  najis hukmiyyah yaitu najis yang tidak terdapat bau, bentuk ataupun rasa. Cara mensucikannya cukup dengan mengalirkan air di atasnya 
(2) najis‘ayniyyah yaitu najis yang terdapat bau, bentuk ataupun rasa. Cara mensucikannya dengan menghilangkan bentuk (ayn) najisnya terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan membasuhnya sampai hilang sifat-sifatnya. Ada  pula  benda  yang  bisa  suci  setelah  melalui  proses  penyamakan,  seperti  kulit bangkai. Semua kulit bangkai binatang bisa suci setelah melalui proses penyamakan, baik berasal dari hewan yang halal dimakan dagingnya atau tidak. Tetapi ada bangkai hewan yang tidak bisa suci walaupun disamak yaitu bangkainya anjing, babi dan hewan yang terlahir dari keduanya atau perkawinan silang. 

Posting Komentar untuk "Taharah : Pengertian, Alat, Metode dan Caranya "