Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penjelasan Tentang Ijma' dalam Kitab Al Waraqat

Penjelasan Tentang  Ijma'  dalam Kitab Al Waraqat
Mengenal Kitab Ushul Fiqh : Al Waraqat dan Terjemaha Artinya

Kitab al-Waraqat dikarang oleh Abu al-Ma’ali Dliya’ ad-Din Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad al-Juwaini atau yang dikenal dengan Imam Haramain.

Imam Haramain mendesain kitab al-Waraqat untuk kebutuhan mubtadi (pemula). Secara bahasa, waraqat berarti lembaran-lembaran kertas. Dari judul saja sudah menggambarkan kitab ini bukan kitab yang besar. Pada bagian pengantar, Imam Haramain berkata, “Kitab ini adalah lembaran-lembaran kertas (waraqat) yang tipis/kecil yang berisi fasal-fasal (topik-topik utama) mengenai ushul fikih yang bisa diambil manfaatnya oleh pemula.”

Nama lengkapnya Al-Waraqat fi Ushul Al-Fiqh (الورقات في أصول الفقه). Sebagian manuskrip menyebut judulnya Al-Waraqat fi Al-Ushul. Kadang ada yang menyebutnya Muqaddimah Al-Imam.

kitab ini adalah pembahasan ushul fikih saja. Tepatnya ushul fikih mazhab Asy-Syafi’i. Kitab ini tidak membahas fikih dan tidak membahas akidah. Pembahasan ushul fikih bermakna pembahasan aspek epistemologi fikih. Artinya, membahas ilmu kaidah dan rambu-rambu bagaimana fikih diproduksi. Jadi ilmu ushul fikih itu ilmu kerangka pikir. Ilmu ushul fikih adalah ilmu yang membentuk metode berpikir fikih dan nalar syar’i dalam Islam.

Berikut Terjemah bab Ijma' kitab Al Waraqat dengan dengan tulisan arab berharakat dengan penjelasan

Ijma' - الإجماع


وَإِمَّا الْإِجْمَاع فَهُوَ اتِّفَاق عُلَمَاء الْعَصْر على حكم الْحَادِثَة

Dan adapun ijma’ adalah kesepakatan ulama’ suatu masa terhadap hukum yang terjadi

ونعني بالعلماء الْفُقَهَاء ونعني بالحادثة الْحَادِثَة الشَّرْعِيَّة

dan yang kami maksud dengan ulama’ adalah ahli-ahli fiqih, dan yang kami maksud dengan yang terjadi adalah kejadian agama

وَإِجْمَاع هَذِه الْأمة حجَّة دون غَيرهَا لقَوْله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم لاتجتمع أمتِي على ضَلَالَة وَالشَّرْع ورد بعصمة هَذِه الْأمة

dan ijma’ ummat ini itu dalil, tidak selain umat ini, karena sabda nabi SAW: ummatku tidak akan terkumpul dalam kesesatan, dan syariat menyampaikan terjaganya ummat ini

وَالْإِجْمَاع حجَّة على الْعَصْر الثَّانِي وَفِي أَي عصر كَانَ

dan Ijma’ itu dalil atas masa yang kedua dan dalam masa kapanpun

وَلَا يشْتَرط انْقِرَاض الْعَصْر على الصَّحِيح

dan tidak disyaratkan habisnya masa, menurut pendapat yang shohih

فَإِن قُلْنَا انْقِرَاض الْعَصْر شَرط فَيعْتَبر قَول من ولد فِي حياتهم وتفقه وَصَارَ من أهل الِاجْتِهَاد فَلهم أَن يرجِعوا عَن ذَلِك الحكم

jika kita mengatakan habisnya masa adalah sebuah syarat, maka ucapan seorang yang dilahirkan di masa mereka dan belajar dan menjadi ahli ijtihan itu di anggap, lalu mereka boleh mencabut hukum tersebut

وَالْإِجْمَاع يَصح بقَوْلهمْ وبفعلهم وَبقول الْبَعْض وبفعل الْبَعْض وانتشار ذَلِك وسكوت البَاقِينَ

ijma’ itu sah dengan perkataan mereka dan dengan perbuatan mereka dan dengan ucapan sebagian dan dengan perbuatan sebagian dan menyebarnya semua itu dan diamya yang lain

وَقَول الْوَاحِد من الصَّحَابَة لَيْسَ بِحجَّة على غَيره على القَوْل الْجَدِيد

dan ucapan satu sahabat itu tidak mendaji dalil atas lainya, menurut qoul jadid

penjelasannya :

Ijma’ merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah yang disepakati umat Islam. Ijma’ secara bahasa memiliki dua makna. Pertama, azm (mengazam;bertekad bulat melakukan), seperti ucapan;

أَجْمَعَ فُلاَنٌ عَلىَ كَذاَ

“Fulan mengazam atas sesuatu”
Terkadang kata ini mencapai (muta’adi) pada maf’ul (obyek) tanpa huruf jar, termasuk contohnya QS. Yunus:71:

فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ

“Karena itu bulatkanlah keputusanmu”
Kedua, memiliki makna sepakat.
Secara istilah ijma adalah kesepakatan ulama yang ahli berijtihad dari umat Muhammad saw atas sebuah masalah baru di suatu masa selain masa hidupnya Nabi saw.
Uraian definisi:
1. Maksud kesepakatan adalah sama dalam keyakinan hukum yang ditunjukkan oleh ucapan, perbuatan, ketetapan, atau susunan dari seluruh atau sebagian unsur-unsur ini. Contoh sebagian mengucapkan, yang lain menjalankan.
2. Maksud ulama yang ahli ijtihad adalah seluruh mujtahid mutlak dari ahli fiqh. Mengecualikan ahli ushul atau fiqh yang belum mencapai taraf mujtahid, serta orang awam, dimana kesepakatan maupun tidak sepakatnya mereka tidak dipertimbangkan.
3. Maksud masalah baru adalah masalah syar’iyyah (jenis syar’i), karena masalah ini adalah bidang ijtihad para ahli fiqh. Menurut pendapat lain, ijma’ terjadi dalam masalah syar’iyyah, lughawiyah (jenis bahasa), ‘aqliyah (jenis akal) atau dunyawiyah (jenis dunia).
4. Kalimat ‘umat Muhammad saw’, mengecualikan mujtahid dari umat-umat terdahulu seperti Yahudi dan Nasrani. Kesepakatan mereka tidak disebut ijma’.
5. Kalimat ‘di suatu masa selain masa hidupnya Nabi saw’, mengecualikan ijma’ di masa Nabi saw, maka tidak dianggap sah. Karena seandainya ijma’ itu cocok dengan sabda Nabi saw, maka sabda Nabi lah yang dipakai, dan seandainya tidak cocok, maka yang dianggap adalah sabda Nabi, ucapan yang lain tidak dipertimbangkan

Penukilan ijma dilakukan secara mutawatir (banyak), masyhur dan ahad (satu jalur). Urutan kuatnya ijma’ yang dinukil secara mutawatir adalah sebagai berikut;
1. Ijma’ shahabat. Statusnya paling kuat dibanding ijma’ lain. Dimana posisinya sejajar dengan ayat al-Qur’an, dan selain yang berbentuk ijma’ sukuti, maka bagi yang mengingkarinya dihukumi kufur.
2. Ijma’ mujtahid setelah shahabat yang tidak diperdebatkan. Posisinya sejajar dengan hadits masyhur, dan bagi yang mengingkari dihukumi tersesat.
3. Ijma’ yang diperdebatkan. Posisinya sejajar dengan hadits ahad yang shahih, namun orang yang mengingkari tidak dihukumi tersesat


Ijma’ adalah sumber hukum yang khusus diberlakukan bagi umat Muhammad saw. Ijma’ bagi umat Muhammad saw adalah hujjah. Dalil ijma’ sebagai hujjah adalah;
1. Firman Allah swt QS. An-Nisa:115:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”

2. Sabda Nabi saw riwayat At-Tirmidzi dan selainnya;

لَا تَجْتِمِعُ اُمَّتِى عَلَى ضَلاَلَةٍ

“Umatku tidak bersepakat dalam kesesatan”
Ijma’ menjadi hujjah bagi (orang-orang) di masa kedua dan orang-orang setelahnya. Serta di setiap masa, yakni masa shahabat dan orang-orang setelahnya.

Salah satu persyaratan untuk menjadikan sah dan tetapnya ijma’ yang diperdebatkan adalah inqiradh al-‘ashr (habisnya pelaku ijma’ dalam satu masa) atau wafatnya semua pelaku ijma’.
Menurut pendapat shahih hal tersebut tidak disyaratkan. Karena dalil yang menetapkan ijma’ sebagai sumber hukum tidak mensyaratkan apapun kecuali hanya adanya kesepakatan dalam hukum. Sehingga pendapat ulama yang mensyaratkan hal tersebut sebenarnya tidak memiliki landasan dalil.

Ijma’ terjadi dan dianggap sah apabila terdiri dari unsur sebagai berikut;
1. Ucapan seluruh pelaku ijma’
2. Perbuatan seluruh pelaku ijma’
3. Ucapan sebagian pelaku, dan perbuatan dari sebagian yang lain
4. Ucapan sebagian pelaku, dan diamnya sebagian yang lain.
5. Perbuatan sebagian pelaku, dan diamnya sebagian yang lain.

Ijma’ model ketiga dan keempat dinamakan ijma’ sukuti. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi;
1. Ucapan atau perbuatan sebagian pelaku ijma’ harus tersebar luas.
2. Sebagian mendiamkan dan tidak mengingkarinya.

Posting Komentar untuk "Penjelasan Tentang Ijma' dalam Kitab Al Waraqat "