Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Shalat Berjamaah : Pengertian, Macam, Syarat, Sunnah, dan Uzur Jama'ah

Shalat Berjamaah : Pengertian, Macam, Syarat, Sunnah, dan Uzur Jama'ah
Shalat Berjamaah

Keutamaan shalat berjamaah banyak sekali. Di antaranya adalah menjadi wasilah terhindar dari api neraka, sekaligus bisa menyelamatkan kita dari sifat munafik. Shalat berjamaah juga mampu semakin meningkatkan peluang diterimanya shalat dibanding dengan shalat sendirian.

Diterimanya shalat kita oleh Allah Swt. membutuhkan berbagai macam persyaratan yang tidak ringan. Shalat yang diterima oleh Allah, dimulai dari dipenuhinya syarat sahnya shalat dan rangkaian rukun yang harus dilakukan sesuai dengan kaidah yang sudah ditentukan oleh agama. Selain itu, shalat juga membutuhkan keikhlasan dan kekhusyuan di dalamnya sehingga mampu menyambung dengan sang khalik. Peluang diterimanya shalat dengan berjamaah sangat tinggi karena satu saja jamaah bisa memenuhi unsur-unsur tersebut, maka shalat seluruh jamaah akan diterima Allah Swt. Oleh karena itu alangkah beruntungnya orang yang mampu istiqamah melaksanakan shalat jamaah. 

1.   Definisi dan macam-macam hukum jamaah

Jamaah menurut bahasa berarti thaifah (kelompok). Sedangkan menurut istilah fuqaha yaitu keterkaitan shalat antara makmum dan imam, mulai dari permulaan shalat maupun di tengah-tengah shalat.  Ada beberapa hukum melaksanakan shalat jamaah. Pembagian hukum ini berdasarkan pada jenis shalat yang sedang dikerjakan. Berikut uraiannya:

a. Fardu ayn, yaitu jamaah pada shalat jum‟at bagi orang yang wajib menjalankan

b. Fardu kifayah, jamaah shalat maktubah bagi orang laki-laki yang sudah mukim, selain shalat jum‟at. Tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai hukum jamaah ini: 

1) menurut al-Nawawi: fardu kifayah. Demikian juga diharuskan tampaknya syiar jamaah ditempat melangsungkannya, sehingga jika shalat jamaah di rumah masing-masing sementara syiar jamaah belum tampak maka kewajiban mendirikan shalat jamaah belum gugur. Dengan demikian, seluruh penduduk yang bedomisili di tempat tersebut terkena dosa. Pendapat ini merupakan pendapat yang kuat. 

2) menurut al-Rafi‟i: sunnah muakkad (sangat dianjurkan). Baik yang berpendapat fardu kifayah dan sunnah muakkad berlandaskan Firman Allah:

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ ٱلصَّلَوٰةَ

“Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama-sama mereka.” (An- Nisa'/4:102)

c. Sunnah, yaitu jamaah pada shalat sunnah yang dianjurkan dilakukan berjamaah seperti shalat id, istisqa‟ dan sebagainya
d. Mubah, yaitu jamaah pada shalat sunnah yang tidak dianjurkan dilaksanakan secara berjamaah seperti shalat duha, rawatib dan tasbih
e. Makruh, seperti imam shalat ada’ (dilakukan pada waktunya) sementara makmum melakukan shalat qada’
f.  terlarang yaitu jika aturan shalat yang dilakukan imam dan makmumnya berbeda seperti shalat shubuh dan gerhana

2.   Syarat-syarat Jamaah

a.   Ma‟mum niat jamaah mengikuti imam
b.   Makmum mengikuti gerakan imam
c.   Makmum tidak mengetahui bahwa imam shalatnya batal, misalnya imamnya berhadas, auratnya terbuka atau meninggalkan satu rukun shalat
d.   Makmum tidak meyakini wajibnya mengulangi (qada‟) shalat bagi imam, seperti imam merupakan orang yang berhadas disebabkan tidak menemukan air dan debu.
e.   Imam bukan tergolong ummy. Ummy berarti orang yang tidak bias menulis dan membaca, disebut ummy karena kondisinya seperti baru dilahirkan oleh ibunya. 
Namun menurut ahli fikih ummy yaitu orang yang tidak cakap dalam melafalkan bacaan yang lazim dalam shalat baik dari segi makhraj maupun tasydid. Para ulama berbeda pendapat bermakmum kepada orang ummy. Pertama, Jika kondisi makmum termasuk dalam kategori ummy maka tafsil (dirinci)

1) menurut pendapat pertama shalat yang dilakukan makmun tidak sah jika keberadaan huruf dari surat al-Fatihah yang tidak mampu dibaca, tidak sama dengan imam. Jika sama maka shalat makmum sah. 

2) menurut pendapat kedua dari mazhab Malikiyyah sah secara mutlak. Kedua, jika status makmum merupakan orang yang termasuk dalam kategori qari’ maka juga tafsil; menurut pendapat mayoritas mazhab sah dan menurut pendapat mazhab Malikiyyah sah secara mutlak. Karena menurut mereka imam tidak disyaratkan harus mampu membaca fasih.

f.   Laki-laki atau khunsa tidak boleh bermakmum kepada perempuan atau khunsa 
g.   Posisi makmum tidak di depan imam, kecuali shalat Shiddah Al-Khauf seperti
saat perang.

h.   Makmum mengetahui gerakan imam secara langsung, melihat gerakan makmum lain, mendengarkan suara imam atau pihak lain yang menirukan bacaan imam meskipun tidak ikut serta berjamaah
i. Jika berada diluar masjid disyaratkan tidak ada penghalang antara imam dan makmum dan jaraknya tidak lebih dari 300 zira‟ sementara jika imam dan makmum berada di masjid maka tidak disyaratkan demikian.
j. Runtutan shalat yang dilaksanakan imam sesuai dengan makmum kecuali jika imam shalat fardu sementara makmum shalat janazah karena kedua shalat itu tata cara pelaksanaannya tidak sesuai.

3.   Sunnah-sunnah Jamaah

a.   Meluruskan barisan (saff)
b.   Makmum dianjurkan berada di saf terdepan
c.   Imam dianjurkan mengeraskan suara saat takbiratul ihram bacaan sami‟allahu liman hamidah dan salam
d.   Bagi makmum masbuq sunnah menyesuaikan zikir-zikir wajib dan sunnah dengan imam.

4.   kemakruhan dalam Berjamaah

a.   Tidak meluruskan saff 
b.   Bermakmum dengan orang fasik, pembuat bid‟ah dan bagi keduanya juga makruh bertindak sebagai imam
c.   Menjadi imam bagi orang yang terjangkit penyakit was-was
d.   Menjadi imam bagi orang cedal yang tidak sampai berdampak merubah makna bacaan
e.   Gerakan makmum menyertai gerakan imam selain takbiratul ihram
f.   Menyendiri dari barisan shalat.

5.   Macam-macam Makmum

Makmum terbagi menjadi dua yaitu makmum muwafiq dan masbuq. Makmum muwafiq yaitu makmum yang mendapatkan waktu cukup untuk membaca fatihah ketika imam masih bediri dengan bacaan normal. Jenis makmum ini wajib menyempurnakan bacaan fatihahnya meskipun imam sudah ruku‟. Sedangkan makmum  masbuq adalah makmum yang tidak mendapakan waktu yang cukup untuk membaca surah al- Fatihah ketika imam masih berdiri dengan bacaan normal. Mengenai mekanisme shalat bagi makmum masbuq adalah sebagai berikut:

a.   Masbuq yang mendapatkan waktu untuk membaca surah al-Fatihah namun bacaannya belum sempurna, tetapi tidak tersibukkan dengan bacaan-bacaan sunnah, atau masbuq yang tidak mendapatkan waktu sedikitpun membaca surah al-Fatihah ketika imam berdiri.  Dua  kasus  masbuq  seperti  di  atas  dianjurkan  segera  mengikuti  ruku‟nya imam, jika tidak memenuhi ketentuan itu maka: 
1) shalatnya bisa batal dengan catatan tidak segera menyusul ruku‟nya imam, tidak niat mufaraqah dan tertinggal dua rukun fi‟li tanpa uzur atau 
2) shalatnya tetap sah namun tertinggal satu rakaat .

b.   Masbuq yang belum sempat menyempurnakan bacaan al-Fatihah karena disibukkan melakukan kesunnahan seperti membaca ta‟awwud, iftitah dan lain-lain. Kasus masbuq seperti ini menurut para ulama harus menyempurnakan bacaan al-Fatihah, namun bisa: 
1) batal jika dengan sengaja mengikuti ruku‟nya imam sebelum menyempurnakan bacaan al-Fatihah; 
2) mendapat rakaat penuh jika setelah meyempurnakan bacaan al-Fatihah ia dapat kesempatan mengikuti ruku‟nya imam; 
3) tertinggal satu rakaat jika imam telah i‟tidal sebelum makmum menyelesaikan bacaan al-Fatihah; 
4) wajib segera mengikuti gerakan imam jika ia sudah menyempurnakan bacaan al- Fatihah, imam beranjak sujud; 
5) wajib mufaraqah jika ia belum sempat menyempurnakan bacaan al-Fatihah sementara imam beranjak sujud. Ketentuan di atas merupakan pendapat yang kuat. Menurut pendapat lain adalah makmum masbuq langsung mengikuti ruku‟nya imam tanpa menyempurnakan bacaan al-Fatihah

6.   Uzur-uzur Jama’ah

Para ulama membatasi uzur yang memperbolehkan meninggalkan shalat jamaah dan jum‟at dengan dua kaidah:

a.   Jika menghadiri shalat jamaah akan mengakibatkan kepayahan yang cukup berat (masyaqqah syadidah) dan ia tidak mampu menahannya, maka tuntutan melaksanakan shalat jamaah menjadi gugur, baik disebabkan oleh sakit, cuaca sangat panas, sangat dingin dan sebagainya. Sementara jika kepayahan yang dialami masih tergolong ringan seperti sakit kepala wajar maka hal tersebut tidak dikategorikan uzur dalam meninggalkan shalat jamaah.

b.   Jika dengan keluar melakukan shalat jamaah akan berdampak terbengkalainya kemaslahatan yang tidak dapat digantikan oleh orang lain, seperti merawat atau menghibur orang sakit, hilangnya harta dan lain sebagainya maka hal ini termasuk uzur yang memperbolehkan meninggalkan shalat jumat dan jamaah


Posting Komentar untuk "Shalat Berjamaah : Pengertian, Macam, Syarat, Sunnah, dan Uzur Jama'ah"