Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

2 Rukun Puasa Yang perlu diketahui

2 Rukun Puasa Yang perlu diketahui
2 Rukun Puasa Yang perlu diketahui 

rukun puasa itu ada dia :
1. Menahan, (al-Imsak)
2. Niat

Rukun Pertama: Menahan, (al-Imsak)

Yang dimaksud menahan, imsâk di sini adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, seperti makanan, minuman, dan hubungan suami-isteri (setubuh, jimâ') sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. 

firman Allah Taala dalam surat al baqarah 187 :

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

Maksudnya, setelah matahari terbenam (Maghrib) Allah membolehkan hamba-Nya untuk makan, minum dan bersatu kembali dengan istri-istrinya sampai datang fajar menyingkap kegelapan malam. Allah menyamakan malam dengan benang hitam dan siang dengan benang putih, sehingga jelaslah bahwa benang yang dimaksud di sini tidak ada hubungannya dengan kain, melainkan fajar.

Dalam kitab Sahihnya, Imam Bukhari meriwayatkan sebuah Hadis dari Sahl Ibn Sa'd: "Telah diturunkan ayat, 'makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam'; dan ketika itu kata min al-fajr, fajar belum diturunkan. Maka orang-orang yang hendak berpuasa mengikatkan benang putih dan hitam pada kedua kakinya. Mereka masih asyik makan sampai benar-benar bisa melihat warna kedua benang tersebut. Kemudian turunlah firman Allah min al-fajr, fajar. Barulah mereka mengerti bahwa yang dimaksud benang hitam dan putih adalah malam dan siang.

Juga dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari 'Addâ Ibn Hatim, ia berkata: "Ketika turun ayat, 'makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam'; aku mengira, yang dimaksud adalah dua helai benang, satu berwarna putih dan satunya lagi berwarna hitam. Kemudian kuletakkan benang-benang itu di bawah bantal. Benang-benang itu kujadikan patokan. Jika telah tampak benang putih, maka aku pun mulai menahan diri, puasa. Ketika pagi menjelang, aku pun bergegas menemui Rasulullah dan menceritakan apa yang telah kuperbuat. Beliau bersabda: 'Wah, jika begitu bantalmu bertambah tebal, dong! Adapun yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah terangnya siang dan gelapnya malam'." Maksud ungkapan, "jika begitu bantalmu bertambah tebal" adalah bertambah tebal karena ditambah dua benang, hitam dan putih yang diletakkan di bawah bantal, yang oleh ayat sendiri dimaksudkan terangnya siang dan gelapnya malam.

Ketika para ulama memberi definisi puasa dengan menahan, al-imsâk, maka yang dimaksud menahan di sini adalah menahan dari semua perkara yang membatalkan puasa. Termasuk di dalamnya adalah makan, minum, dan juga hubungan badan, jimâ. Selain itu, ada juga hal-hal lain yang belum disebutkan, di antaranya sesuatu yang dimasukkan melalui rongga tubuh meskipun rongga itu bukan merupakan rongga yang biasa digunakan untuk makan atau minum, seperti infus. Maka puasa menjadi batal dengan masuknya hal-hal semacam itu ke dalam lambung dengan disengaja, baik cara memasukkannya melalui mulut, hidung, telinga, anal, maupun infus.

Adapun celak dan obat tetes yang digunakan pada mata, jika ditemukan rasanya di tenggorokan maka puasanya rusak, namun jika rasa tersebut tak ditemukan maka puasanya tetap sah (sebagian ulama berpendapat, obat tetes mata dan celak tidak membatalkan puasa meskipun ditemui rasanya di tenggorokan, karena hal itu bukan merupakan hal yang lazim sebagai pengisi perut dan tidak mengeyangkan, penyunting).

Imam Abu Hanifah dan Syafi'i berpendapat, pemakaian celak tidak membatalkan puasa. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Nabi saw bercelak di bulan Ramadan sedangkan beliau berpuasa. Juga karena mata bukanlah termasuk lobang yang menerus ke perut, sehingga apa yang masuk melaluinya tidak merusakkan puasa, sama seperti orang yang meminyaki rambut di kepalanya.

Adapun sesuatu yang tidak mungkin dihindari masuknya seperti air liur yang tertelan, debu jalanan, atau tepung yang diayak, semuanya tidak membatalkan puasa, dan termasuk ke dalam kategori yang di maafkan, ma'fu 'anh. Seperti juga debu atau lalat yang terbang kemudian masuk secara tidak sengaja ke mulut atau tenggorokan, mani yang keluar tanpa disengaja-sebab mimpi atau karena berpikir seputar seks, atau orang yang tiba-tiba muntah, maka hal-hal tersebut tidak membatalkan puasa.

Apabila terasa ada makanan yang tersisa di tenggorokan dan sulit untuk mengeluarkannya maka hukumnya disamakan dengan air liur di atas, tidak membatalkan puasa.

Rukun Kedua: Niat

Pengikut mazhab Syafi'i menganggap niat sebagai salah satu rukun puasa, sedangkan pengikut mazhab-mazhab lainnya menganggap niat sebagai salah satu syaratnya.

Niat secara bahasa diartikan: maksud, bermaksud (al-qashd), sedangkan secara terminologi agama diartikan dengan: "Bermaksud mengerjakan sesuatu yang dibarengi pelaksanaannya. Apabila pelaksanaanya tertunda, tidak berbarengan dengan maksudnya, maka disebut 'azm, azam, keinginan.

Dalil tentang wajibnya niat ini adalah firman Allah:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus

juga sabda Rasul: "Sesungguhnya amal perbuatan disertai dengan niat-niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang telah mereka niatkan" (HR. Bukhârî).

Diriwayatkan dari Hafshah, Ummul Mukminin ra. bahwa Nabi saw bersabda: "Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malam hari, sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya." Hadis ini menunjukkan ketidak-absahan puasa tanpa disertai niat pada malam hari. Waktu niat adalah sepanjang malam. Ia bisa dilaksanakan kapan saja sejak terbenamnya matahari dan sebelum terbitnya fajar, setiap malam bulan Puasa. Dengan niat inilah dibedakan antara ibadah dengan adat, kebiasaan. Dan dengan niat ini pula dibedakan antara ibadah fardhu dengan ibadah sunah.

Niat tidak wajib dan harus diucapkan dengan lisan, sunnah hukumnya melafadzkannya/mengucapkannya karena niat merupakan pekerjaan hati. Barangsiapa sahur di malam hari dengan maksud melaksanakan puasa, maka itu sudah termasuk niat. Niat cukup pula dihadirkan dalam hati di waktu malam bahwa ia akan berpuasa hari esok.

Yang  wajib  dihadirkan  di  dalam  niat adalah :

1.  Untuk puasa wajib :

1  Bermaksud berpuasa

2 Meyakini  kefardhuannya  (bahwa puasa  yang  akan  dilakukan  adalah wajib)

3  Menentukan jenis puasanya

Ini  semua  cukup  dilintaskan  di  dalam hati  saja  dan  jika  diucapkan  dengan lidahnya  asal  hatinya  tetap  ingat  akan niat  tersebut    maka  puasanya  juga  sah bahkan  sebagian  ulama  menganjurkan untuk  diucapkan  dengan  lidahnya  dengan    bahasa  apapun  untuk membantu hati mengingat niat tersebut.

Contoh  :  “Aku berniat puasa Fadhu Ramadhan”   (nawaitu shouma romadlon fardlon)

Aku Berniat Puasa = Bermaksud Puasa Fardhu = Meyakini kefardhuannya Ramadhan = Menentukan jenis puasanya.

2.  Untuk puasa sunnah :

1.  Sunnah  rowatib atau puasa  sunnah yang  sudah ditentukan waktunya seperti  puasa  6  syawal atau puasa senin dan kamis. Cara niatnya adalah :

1 Bermaksud berpuasa

2 Menyebut puasa yang akan di lakukan

Contoh : “Aku niat Puasa hari  kamis” (nawaitu shouma yaumi…)

Aku niat puasa = Bermaksud Puasa Hari kamis  = Menentukan jenis puasa sunnahnya

2.  Puasa  sunnah  mutlaqoh  atau  puasa sunnah di selain hari-hari yang telah ditentukan.  Cara  niatnya  adalah cukup bermaksud untuk berpuasa Contoh : “Aku Niat Puasa” . (nawaitu shoumu)

Catatan :

Di  dalam  berniat  tidak  harus menggunakan  bahasa  arab,  akan  tetapi dengan  bahasa  apapun  niatnya  maka  puasa tetap sah.

Waktu  niat  di  dalam  berpuasa  ada  dua macam :

1.    Puasa Fardhu

Untuk  puasa  fardhu  (wajib)  maka niatnya  harus  dilakukan  sebelum  terbit fajar  sodik  (fajar  yang  sesungguhnya) atau sebelum masuk waktu subuh.

Catatan:

Semua niat dalam  ibadah adalah dilakukan  di  awal  memulai  pekerjaan  ibadahnya  kecuali  puasa  yang   cara  niatnya adalah bisa di malam hari jauh-jauh sebelum fajar shodiq terbit.

2.  Puasa sunnah

Untuk  puasa  sunnah  tidak  diharuskan niat pada malam harinya akan tetapi boleh berniat di pagi hari dengan 2 syarat :

·          Belum tergelincir matahari

·          Belum melakukan sesuatu yang membatalkan  puasa  yang  tersebut  di  atas seperti makan atau minum.

Catatan :

Sekilas perbedaan ulama di dalam niat.

Mazhab Syafi’i : 

Satu  kali  niat  untuk  satu  kali  puasa artinya  niat  puasa  harus  dilakukan  setiap malam.

Mazhab Malik : 

Boleh  menggabungkan  niat  di  awal puasa  selama  satu  bulan  penuh  dengan syarat  dalam  sebulan  itu  tidak  terputus dengan batalnya puasa, jika sempat terputus dengan  tidak  berpuasa  maka  ia  harus memulai dengan niat  yang baru lagi seperti terputusnya karena haid.

Mazhab Abu Hanifah : 

Tidak ada perbedaan dalam puasa wajib atau  sunnah  bahwa  menginapkan  niat  di malam hari tidak wajib menurut Imam Abu Hanifah,  jika  berniat  setelah  terbitnya matahari  tetap  sah  asalkan  matahari  belum tergelincir  (masuk  waktu  dzuhur)  dan belum  melakukan  hal-hal  yang  membatalkan puasa.

3.  Puasa qodho

Bagi  yang  punya  hutang  puasa,  cara mengqodhonya adalah dengan melakukan puasa  di  hari-hari  yang  di  perkenankan puasa  di  sepanjang  satu  tahun  setelah ramadhan, yaitu selain :

·          Hari raya Idul Fitri

·          Hari raya Idul Adha

·          3 hari tasyrik (11,12,13 Dzul Hijjah)

Cara    niat  puasa qodho’  sama  dengan cara  niat  puasa  ramadhan  adapun  menambah  kalimat  qodho’  itu  tidak  harus  akan tetapi sekedar dianjurkan. Jika  mengqodho’  puasa  ramadhan bertepatan  dengan  hari-hari  di  sunnahkan puasa  sunnah.  Maka  cukup  niat  puasa qodho  yang  wajib  saja  tanpa  harus  dibarengi  dengan  niat    puasa  sunnahnya.    Dan orang  tersebut  sudah  mendapatkan  pahala puasa  wajib  dan  puasa  sunnah  sekaligus biarpun tanpa diniatkan puasa sunnah.

Menurut Mazhab Mâlikî, niat tidak perlu diucapkan tiap malam, tapi cukup dilakukan sekali saja jika puasa yang dilakukan adalah puasa yang berkelanjutan dan berturut-turut, seperti puasa pada bulan Ramadan, puasa kafarat-kafarat Ramadan, kafarat membunuh, dan kafarat dzihar-, dan lainnya, selama kelanjutan tersebut tidak terputus. Jika kelanjutan puasa terputus-dikarenakan uzur, semisal bepergian, sakit, atau lainnya-, maka niat wajib dihadirkan setiap malam.

Adapun puasa yang tidak harus dilakukan berturut-turut, seperti puasa kafarat sumpah, dan puasa untuk mengqadha, mengganti puasa yang ditinggalkan, maka diharuskan berniat setiap malamnya.

Sementara untuk puasa sunah, menurut Mazhab Syafi'i, niat bisa dilakukan-di samping pada malam hari-pada waktu pagi hari, sebelum waktu Dzuhur dan dengan catatan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sebelumnya.

Menurut Madzhab Hanafî, niat puasa sunah adalah sejak malam hari hingga pertengahan siang, namun akan lebih baik bila niat dilakukan pada malam hari dan dengan mengucapkannya.

Sedangkan Mazhab Mâlikî berpendapat, niat tidak sah dihadirkan pada waktu siang hari, apa pun jenis puasanya, termasuk puasa sunah.

Madzhab Hanbalî berpendapat, niat puasa sunah bisa dilakukan pada siang hari, meskipun dilakukan setelah matahari tergelincir-sesudah waktu Dzuhur. Asalkan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, seperti makan, minum dan seterusnya.

Dalil sahnya puasa sunah dengan niat di siang hari ini adalah Hadis yang diriwayatkan dari 'Aisyah ra. yang mengatakan: "Suatu hari Nabi saw. datang kepadaku dan bertanya, 'Apakah engkau punya makanan?' Saya menjawab, 'Tidak ada'. Beliau saw. pun lantas berkata, 'Kalau begitu aku puasa'. Di hari yang lain beliau datang lagi kepadaku. Aku katakan kepadanya, kita dihadiahi hays. Beliau menjawab, 'Perlihatkanlah kepadaku. Aku sebenarnya puasa sejak pagi'. Kemudian beliau pun memakan hays tersebut" (HR. Muslim).

Hays adalah kurma kering berserta mentega dan keju.

Sebagian ulama berpendapat, ungkapan Nabi saw di atas bersifat umum. Ada kemungkinan Nabi saw berniat puasa sejak malam, bisa juga tidak. Namun berdasarkan hadis sebelumnya, riwayat dari Hafshah di atas, niat puasa pada dasarnya dilakukan pada malam hari. Puasa ini pun berlaku umum, bisa berupa puasa fardhu, sunah, qadha maupun nazar.

 

Posting Komentar untuk "2 Rukun Puasa Yang perlu diketahui "