Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ihyaaul Mawat (Membuka Lahan Mati) : Dalil, Definisi, dan Struktur Ihyaaul Mawat

 A.    DALIL IḤYĀ’UL MAWĀT

Dalil yang mendasari legalitas iḥyā‟ul mawāt adalah sabda Rasulullah Saw.

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً  فَهِيَ لَهُ

“Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَلَهُ فِيْهَا أَجْرٌ، وَمَا أَكَلَهُ الْعَوَافِيُّ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ

“Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka di sana ia akan memperoleh pahala dan tanaman yang dimakan binatang kecil (seperti burung atau binatang liar), maka hal itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Darimiy dan Ahmad)

 

B.    DEFINISI IḤYĀ’UL MAWĀT

Secara bahasa iḥyā‟ adalah membuat sesuatu menjadi hidup. Sedangkan mawāt secara bahasa adalah lahan yang mati. Adapun definisi iḥyā‟ul mawāt secara istilah adalah mengolah atau menghidupkan lahan yang mati, atau lahan yang tidak bertuan dan tidak dimanfaatkan oleh seseorang. Hukum iḥyā‟ul mawāt adalah sunnah. Maka setiap orang Islam dianjurkan menghidupkan lahan mati baik di daerah Islam atau di selain daerah Islam.

Menurut Imam Zarkasyi, secara umum lahan dibagi menjadi tiga:
1)    Mamlūkah
Yaitu lahan yang dimiliki seseorang baik dengan cara pembelian atau hasil dari pemberian orang lain.
2)    Maḥbūsah
Yaitu lahan yang tidak bisa dimiliki baik karena terikat dengan kepentingan umum seperti jalan raya dan masjid atau kepentingan individu seperti barang wakaf.
3)    Munfakkah
Yaitu lahan yang tidak terikat dengan kepentingan umum atau kepentingan indiidu. Yakni lahan mati yang bisa dimiliki dengan cara iḥyā‟ul mawāt.

C.    STRUKTUR IḤYĀ’UL MAWĀT

Struktur iḥyā‟ul mawāt terdiri dari tiga rukun. Yakni muḥyī, muḥyā, dan iḥyā‟.

1)    Muḥyī

Yaitu orang yang melakukan iḥyā‟ul mawāt. Syarat muḥyī harus seorang muslim jika lahan yang akan diolah berada di daerah Islam. Ini adalah pendapat mażhab Syafi‟i. Sedangkan menurut pendapat lain kafir żimmī juga berhak untuk menghidupkan lahan mati di daerah Islam, karena iḥyā‟ul mawāt termasuk proses pemindahan kepemilikan yang tidak membedakan antara muslim atau non muslim sebagaimana proses pemindahan kepemilikan yang lain.

2)    Muḥyā

Muḥyā adalah lahan mati yang akan diolah atau dihidupkan dengan cara proses iḥyā‟ul mawāt. Syarat muḥyā ada dua:
a)    Belum pernah dimiliki seseorang di era islamiyah (setelah terutusnya nabi Muhammad Saw.). Syarat ini meliputi dua hal, yakni belum pernah dimiliki seseorang sama sekali atau pernah dimiliki pada era jahiliyah (sebelum terutusnya nabi Muhammad Saw.) namun setelah nabi diutus tidak pernah dimiliki lagi.
b)    Tidak berada disekitar lahan hidup (lahan yang sudah diolah atau dihidupkan dan dimiliki seseorang) yang disebut dengan ḥarīm. Ḥarīm secara istilah adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk kesempurnaan sesuatu yang lain seperti halaman rumah. Jika lahan mati merupakan ḥarīm dari lahan hidup maka tidak bisa dimiliki dengan cara iḥyā‟ul mawāt.
c)    Berada di daerah Islam. Jika lahan mati berada di daerah non Islam, boleh dikelola jika tidak ada larangan dari masyarakat setempat. Jika ada larangan maka tidak boleh. Ini adalah pendapat mażhab Syafi‟i. Sedangkan mażhab selain Syafi‟i tidak membedakan lahan mati yang berada di daerah Islam atau non Islam.
Lahan mati yang pernah dimiliki oleh seseorang di era islamiyyah dan pemiliknya meninggal tidak bisa dimiliki dengan proses iḥyā‟ul mawāt dan tidak berstatus lahan mati lagi, akan tetapi kepemilikan lahan tersebut berpindah pada ahli waris. Jika ahli waris tidak ditemukan atau tidak diketahui maka termasuk māl ḍā‟i‟ yang harus dijaga jika ada harapan untuk mengetahui pemiliknya di kemudian hari, jika tidak ada harapan untuk mengetahui pemiliknya maka diserahkan kepada kebijakan imam sebagai aset negara.

3)    Iḥyā’

Yaitu proses pengolahan lahan mati yang secara hukum berkonsekuensi menjadi milik pengolah. Batas pengolahan lahan mati adalah sesuai dengan tujuan yang diinginkan pengolah. Jika yang diinginkan adalah merubah lahan mati menjadi rumah, maka yang harus dilakukan pengolah untuk berstatus sebagai pemilik lahan tersebut adalah membuat pagar, memasang pintu, memasang atap atau yang lain sekiranya sudah tidak layak dikatakan sebagai lahan mati lagi. Jika yang diinginkan adalah merubah lahan mati menjadi perkebunan maka yang harus dilakukan adalah memasang pagar, irigasi, menanam pohon dan yang lain sekiranya sudah layak dinamakan perkebunan.
Meletakkan batu di sekitar lahan mati tidak bisa mewakili proses iḥyā‟ul mawāt. Tapi hanya sekadar pemberian batas (taḥajjur) yang tidak berkonsekuensi kepemilikan. Taḥajjur ada dua praktik:
 
•    Sudah memulai proses iḥyā‟ul mawāt tapi tidak diselesaikan.
•    Meletakkan sebuah tanda seperti batu disekitar lahan mati.
Lahan yang sudah diklaim pemerintah baik secara keseluruhan atau sebagian tidak bisa dimiliki dengan cara iḥyā‟ul mawāt tanpa ada izin dari pemerintah. Lahan yang tidak diketahui apakah pernah dimiliki di era islamiyah atau di era jahiliyah ada dua pendapat:
•    Menurut Imam Romli; tidak bisa dimiliki dengan proses iḥyā‟ul mawāt.
•    Menurut Imam Ibn Hajar; bisa dimiliki sebagaimana lahan mati.
Apakah proses iḥyā‟ul mawāt harus ada izin dari imam? Dalam hal ini ada dua pendapat:
•    Menurut Imam Abu Hanifah dan mażhab Maliki; harus ada izin dari imam.
Berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:

“Tidak ada bagi seseorang kecuali apa yang direlakan oleh imamnya”.
(HR. Ṭabrani)
Jika imam tidak memberi izin maka tidak ada kerelaan dari imam yang berkonsekuensi lahan mati tidak bisa dimiliki.
•    Menurut mażhab Syafi‟i dan mażhab Hanbali; tidak harus ada izin dari
imam. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:

“Barang siapa membuka lahan mati, maka menjadi miliknya,dan akar yang zalim (keluar pagar) tidak memiliki hak”. (HR. Bukhari)
Hadis ini menetapkan kepemilikan kepada muḥyī tanpa persyaratan izin dari imam dan karena iḥyā‟ul mawāt adalah perkara yang legal secara hukum sehingga lahan mati boleh dimiliki oleh seseorang tanpa ada izin dari imam sebagaimana seseorang boleh memiliki hewan buruan tanpa izin imam.
Menurut mażhab maliki proses iḥyā‟ul mawāt bisa dilakukan dengan salah satu dari tujuh hal:
•    Membuat sumber air, jika penyebab lahan mati karena tidak ada air.
•    Membuang air, jika penyebab lahan mati karena tergenang air.
•    Membuat bangunan.
•    Menanam pohon.
•    Bercocok tanam.
•    Menebang pohon.
•    Meratakan lahan dengan cara menghancurkan batu-batu yang besar.


Posting Komentar untuk "Ihyaaul Mawat (Membuka Lahan Mati) : Dalil, Definisi, dan Struktur Ihyaaul Mawat"