Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kepemilikan (milkiyah) Dalam Islam : Pengertian, Dalil, dan Macam macam milkiyah

 

Kepemilikan (milkiyah) Dalam Islam : Pengertian, Dalil, dan Macam macam milkiyah
Kepemilikan (milkiyah) Dalam Islam : Pengertian, Dalil, dan Macam macam milkiyah

A.    DALIL TENTANG KEPEMILIKAN (MILKIYYAH)

Dalil yang mendasari legalitas kepemilikan adalah firman Allah Swt. QS. Al- Aḥzāb (33) : 50

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ إِنَّآ أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَٰجَكَ ٱلَّٰتِىٓ ءَاتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَيْكَ

Hai Nabi, Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang Termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu”. (QS. Al-Ahzāb [33] : 50)

B.    DEFINISI KEPEMILIKAN (MILKIYYAH)

Kepemilikan adalah hubungan secara syariat antara harta dan seseorang yang menjadikan harta terkhusus kepadanya dan berkonsekuensi boleh ditasarufkan dengan segala bentuk tasaruf selama tidak ada pembekuan tasaruf. Seseorang yang mendapatkan harta dengan cara yang dilegalkan syariat maka harta tersebut
 
terkhusus kepadanya, boleh dimanfaatkan dan ditasarufkan kecuali orang-orang yang dibekukan tasarufnya seperti anak kecil dan orang gila.
Adapun tasaruf wali anak kecil dan wakil (dalam transaksi wakālah) terhadap suatu barang bukan atas nama kepemilikan, namun atas nama pergantian (niyābah) yang dilegalkan syariat.

C.    MACAM-MACAM KEPEMILIKAN (MILKIYYAH)

Macam-macam kepemilikan ada dua. Yakni kepemilikan utuh dan kepemilikan tidak utuh.

1)    Kepemilikan Utuh

Kepemilikan utuh adalah kepemilikan seseorang terhadap barang sekaligus manfaatnya. Maka ia bebas mentasarufkan barang tersebut baik tasaruf terhadap barang dan manfaatnya seperti menjual, mewakafkan, menghibahkan dan mewasiatkan atau tasaruf terhadap manfaatnya saja seperti menyewakan dan meminjamkan.
Sebab-sebab kepemilikan utuh ada empat:
a)    Istīlā’ ‘Alā Al-Mubāḥ
Yaitu kepemilikan seseorang terhadap barang yang belum pernah berada dalam kepemilikan seseorang dan tidak ada larangan syariat untuk memilikinya. Seperti penangkapan ikan di laut, mengambil air dari sumber dan berburu hewan.
Syarat-syarat kepemilikan dengan cara istīlā‟ „alā al-mubāḥ ada dua:
•    Belum    pernah    berada    dalam    kepemilikan    seseorang.    Hal    ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
“Barang siapa lebih dahulu (memiliki) barang yang belum pernah menjadi milik orang islam maka barang tersebut menjadi miliknya”. (HR. Abu Daud)
•    Kesengajaan untuk memiliki. Jika tidak ada kesengajaan maka tidak berkonsekuensi kepemilikan. Seperti burung yang masuk ke kamar seseorang.
b)    Al-‘Uqūd
Yaitu kepemilikan seseorang terhadap barang dengan cara transaksi. Seperti transaksi hibah (pemberian), bai‟ (jual beli), i‟ārah (pinjam
 
meminjam) dan yang lain. Sebab kepemilikan utuh berupa transaksi adalah hal yang paling sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan sebab-sebab lain yang jarang terjadi.
c)    Khalafiyyah
Yaitu kepemilikan seseorang terhadap barang dengan cara pergantian. Baik berupa pergantian orang yang dikenal dengan istilah warisan, atau berupa pergantian barang yang dikenal dengan istilah ganti rugi (taḍmīn). Khalafiyyah ada dua macam:
•    Warisan
Yaitu proses pemindahan kepemilikan secara otomatis dengan hukum syariat dari seseorang kepada ahli waris atas harta warisan yang ditinggalkan.
•    Ganti Rugi (Taḍmīn)
Yaitu kewajiban ganti rugi atas barang, yang dibebankan kepada seseorang yang merusak barang orang lain.
d)    Tawallud Min Al-Mamlūk
Yaitu kepemilikan seseorang terhadap barang hasil dari apa yang dimiliki. Seperti buah dari pohon yang dimiliki, anak sapi dari sapi yang dimiliki dan susu kambing dari kambing yang dimiliki.

2)    Kepemilikan Tidak Utuh

Kepemilikan tidak utuh adalah kepemilikan seseorang terhadap barang atau manfaatnya saja.
a)    Kepemilikan Barang
Kepemilikan barang adalah kepemilikan seseorang terhadap barangnya saja. Yakni barangnya ia miliki, sedangkan manfaatnya milik orang lain. Seperti Ahmad berwasiat kepada Yasir untuk menempati rumah Ahmad selama Yasir hidup. Jika Ahmad meninggal, maka kepemilikan rumah (barangnya saja) berpindah kepada ahli waris Ahmad dengan sistem warisan. Sedangkan manfaat rumah milik Yasir selama ia hidup dengan sistem wasiat. Jika Yasir meninggal, maka kepemilikan rumah baik barang dan manfaatnya kembali kepada ahli waris Ahmad. Sehingga kepemilikan ahli waris Ahmad terhadap rumah setelah Yasir meninggal menjadi kepemilikan utuh, yakni kepemilikan terhadap barang sekaligus manfaanya.
 
Sedangkan selama Yasir masih hidup, kepemilikan Ahli waris Ahmad terhadap rumah adalah kepemilikan tidak utuh. Karena kepemilikan mereka hanya kepemilikan terhadap barangnya saja yang berkonsekuensi tidak boleh memanfaatkan rumah (menempati) selama Yasir masih hidup.
b)    Kepemilikan Manfaat
Kepemilikan manfaat adalah kepemilikan seseorang terhadap manfaatnya saja sedangkan barangnya milik orang lain.
Sebab-sebab kepemilikan manfaat ada empat:
•    Transaksi Pinjam-Meminjam (I’ārah)
Pihak peminjam (musta‟īr) tidak boleh meminjamkan barang pinjaman kepada orang lain. Karena transaksi i‟ārah hanya sebuah perizinan untuk menggunakan manfaat barang. Sehingga ia tidak memiliki manfaat barang pinjaman, hanya boleh menggunakan manfaatnya saja.
•    Transaksi Persewaan (Ijārah)
Pihak penyewa boleh meminjamkan atau menyewakan barang sewaan kepada orang lain. Karena transaksi ijārah adalah memberikan kepemilikan manfaat. Maka manfaat barang dalam transaksi ijārah milik penyewa selama waktu yang telah ditentukan. Namun pihak penyewa tidak boleh menjual barang sewaan karena ia tidak memiliki barangnya, hanya memiliki manfaatnya saja.
•    Transaksi Wakaf
Pihak mauqūf „alaih (penerima wakaf) boleh menggunakan barang wakaf atau mempersilahkan orang lain untuk menggunakannya jika ada izin dari pihak wāqif (orang yang mewakafkan barang), karena wakaf adalah memberikan kepemilikan manfaat kepada mauqūf „alaih dengan cara pembekuan tasaruf pada fisiknya. Sehingga mauqūf „alaih tidak boleh menjual barang wakaf. Karena ia hanya memiliki manfaatnya saja, tidak memiliki barangnya.
•    Transaksi Wasiat Manfaat
Seperti dalam contoh kepemilikan barang. Selama Yasir hidup, manfaat rumah milik yasir sedangkan fisik rumah milik ahli waris Ahmad.

>>>    Selesainya Hak Pemanfaatan Barang

Hak pemanfaatan barang dinyatakan selesai dengan tiga hal:
•    Habisnya waktu yang telah disepakati dalam transaksi. Seperti transaksi persewaan barang dengan batas waktu satu bulan. Maka setelah satu bulan, pihak penyewa tidak berhak memanfaatkan barang sewaan lagi. Karena hak pemanfaatannya telah selesai.
•    Rusaknya barang. Seperti barang sewaan atau barang pinjaman rusak dalam pertengahan waktu yang telah ditentukan.
•    Meninggalnya pemilik barang. Artinya jika pemilik barang meninggal maka hak pemanfaatan barang dinyatakan selesai. Ini berlaku jika hak pemanfaatan barang dimiliki dengan cara transaksi i‟ārah, karena transaksi i‟ārah termasuk akad jā‟iz (transaksi yang tidak mengikat). Jika hak pemanfaatan barang dimiliki dengan cara transaksi ijārah maka hak pemanfaatan barang tidak dinyatakan selesai walaupun pemilik barang meninggal, karena transaksi ijārah termasuk akad lāzim (transaksi yang mengikat). Begitu juga jika hak pemanfaatan barang dimiliki dengan cara transaksi wasiat atau wakaf, maka hak pemanfaatan barang tidak dinyatakan selesai dengan meninggalnya pemilik barang. Karena hak pemanfaatan barang dalam transaksi wasiat baru dimulai setelah pemilik barang meninggal. Sedangkan hak pemanfaatan barang dalam akad wakaf tanpa batas waktu dan tidak bisa dinyatakan selesai karena pemilik barang meninggal.

Posting Komentar untuk "Kepemilikan (milkiyah) Dalam Islam : Pengertian, Dalil, dan Macam macam milkiyah"