Macam-macam Akad (Transaksi) dalam Islam
![]() |
Macam-macam Akad (Transaksi) dalam Islam |
Akad
banyak macamnya dan berlain-lainan namanya serta hukumnya, lantaran
berlainan obyeknya. Masyarakat, atau agama sendiri telah memberikan
nama-nama itu untuk membedakan yang satu dengan yang lainnya.
Istilah-istilah ini tidak diberikan oleh para ulama, namun ditentukan
agama sendiri. Karenanya terbagilah akad kepada :
1. ‘Uqudun musammatun, yaitu: akad-akad yang diberikan namanya oleh syara’ dan ditetapkan untuknya hukum-hukum tertentu.
2.
‘Uqudun ghairu musammah, yaitu: akad-akad yang tidak diberikan namanya
secara tertentu, ataupun tidak ditentukan hukum-hukum tertentu oleh
syara’ sendiri.
‘Uqudun musammatun ada dua puluh lima macam.
Nama-nama ini semuanya kita ketemukan satu persatu sesudah kita
mempelajari bagian muamalah maliyah dalam ilmu fiqh.
1) Bai’
عَقْدٌ يَقَوْمُ عَلَى اَسَاسِ مُبَادَلَةِ المَالِ لُيفِيْدَ تَبَادُلَ المِلْكِيّاتِ عَلَى الدّوَامَ
“Akad yang berdiri atas dasar penukaran harta dengan harta lalu terjadilah penukaran milik secara tetap”
Akad
ini adalah pokok pangkal dari uqud mu’awadlah, hukum-hukumnya merupakan
naqis ‘alaihi, dalam kebanyakan hukum akad. Karena itulah kalau kita
membaca kitab-kitab fiqh, maka yang mula-mula kita ketemukan dalam bab
muamalah, ialah: Babul ba’i (Kitabul Ba’i). Bab ini merupakan titil
tolak untuk membahas segala masalah muawadlah maliyah.
2) Ijarah
عَقْدٌ مَوْضُوْعُهُ المُبَادَلَةُ عَلَى مَنْفَعَةِ الشّيْءِ بِمُدّةٍ مَحْدُوْدَةٍ أَىْ تَمْلِيْكُهَا بِعِوَضٍ فَهِيَ بَيْعُ المُنَافِعِ
“Akad
yang obyeknya, ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu artinya:
memilikkan manfaat dengan iwadl, sama dengan menjual manfaat”.
3) Kafalah
ضَمُّ ذِمَّةٍ إِلى ذِمَّةٍ فِى المُطَالَبَةِ
“Menggabungkan dzimmah kepada dzimmah lain dalam penagihan”.
Atau dalam ibarat yang lain dikatakan:
عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ الْتِزَامَ شَخْصٍ بِحَقِّ وَاجِبٍ عَلَى غَيْرِهِ وَاشْرَاكِ نَفْسِهِ مَعَهُ فِى المَسْؤُلِيَّةِ بِهِ تُجَاهَ الطَّالِبِ
“Akad
yang mengandung perjanjian dari seseorang, bahwa padanya ada hak yang
wajib dipenuhi untuk selainnya dan menserikatkan dirinya bersama orang
lain itu dalam tanggung jawab terhadap hak itu dalam menghadapi
seseorang penagih”.
Multazim, dalam hal ini dinamakan kafiil.
Multazim asli dinamakan makful atau makful ‘anhu. Multazim bihi, yaitu
benda, dinamakan makful bihi.
4) Hawalah
عَقْدٌ مَوْضُوْعُهُ نَقْلُ المَسْئُولِيَّةِ مِنَ الدَّائِنِ الأَصْلِيِّ إِلَى غَيْرِهِ
“Suatu akad yang obyeknya memindahkan tanggung jawab dari yang mula-mula berhutang kepada pihak lain”.
Madin dinamakan muhil, da’in dinamakan muhal, orang yang ketiga dinamakan muhal ‘alaih, hutang itu sendiri dinamakan muhal bihi.
5) Rahn
عَقْدٌمَوْضُوْعُهُ اِحْتِبَاسُ مَالٍ لِقَاءَحَقٍّ يُمْكِنُ اسْتِيْفَاؤُهُ مِنْهُ
“Suatu akad yang obyeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh pembayaran dengan sempurna”.
Maka
orang yang memegang rahn (mahrum) dinamakan murtahin. Orang yang
memberi rahn, atau menggadaikan atau si madin, dinamakan rahin. Barang
yang dinamakan barang gadaian itu dinamakan marhun bihi.
6) Bai’ul Wafa’
عَقْدٌتَوْفِيْقِيٌّ فِي صُوْرَةِ بَيْعٍ عَلَى أَسَاسِ احْتِفَاظِ الطَّرَفَيْنِ بِحَقِّ التَّرَادِّ فِى العِوَ ضَيْنِ
“Akad taufiqi dalam rupa jual beli atas dasar masing-masing pihak mempunyai hak menarik kembali pada kedua-kedua iwadl itu (harga dan benda)”.
Aqad bai’ul wafa’ ini merupakan akad yang bercampur antara bai’dan iarah. Padanya ada unsur-unsur bai’ dan juga padanya ada juga unsure iarah, sedang hukum rahn lebih mempengaruhi akad itu. Akad ini mengandung arti jual beli; karena musytari dengan selesainya akad, memiliki segala manfaat yang dibeli itu. Dapat dipakai sendiri benda yang dibeli itu, dapat disewakan. Berbeda dengan rahn. Rahn tidak boleh ditasharrufkan oleh si murtahin dengan sesuatu tasharruf. Dan bai’ul wafa’ ini pula mengandung makna rahn, karena si musytari tidak boleh membinasakan barang itu, tidak boleh memindahkan barang itu kepada orang lain. Maka di suatu segi, kita katakan itu bai’, karena si musytari boleh mengambil manfaat barang itu, boleh bertasharruf dengan sempurna, dari segi yang lain kita katakana rahn; karena si musytari tidak boleh menjual barang itu kepada orang lain.
Kemudian si musytari dalam bai’ul wafa’ ini
harus mengembalikan barang kepada si penjual, si penjual mengembalikan
harga. Inilah yang dimaksudkan dengan bai’ul wafa’. Dan si musytari
dapaat mendesak si penjual mengembalikan harga.
7) Al’ida
عَقْدٌمَوْضُوْعُهُ اسْتِعَانَةُ الإِنْسَانِ بِغَيْرِهِ فِى حِفْظِ مَالِهِ
“Sebuah akad yang obyeknya meminta pertolongan kepada seseorang dalam memelihara harga si penitip itu”.
Si
pemilik harga dinamakan mudi’; orang yang dipercaya untuk dititipkan
barang dinamakan wadi’, benda yang dititipkan itu dinamakan wadi’ah.
Harta wadi’ah yang diletakkan dibawah penjagaan si wadi’ dipandang
amanah dan si wadi’ dipandang ‘amiin.
Terkadang lafad wadi’ah
dipakai untuk akad sendiri. Artinya amanah dalam istilah fuqoha, ialah
si wadi’ tidak bertanggung jawab terhadap bencana-bencana yang tak
disingkirkan, seperti bencana alam; dan si ‘amiin itu diharuskan
bertanggung jawab apabila kerusakan terjadi lantaran kesalahannya. Akad
Ida’ merupakan pokok dari segi akad amanah; karena akad inilah yang
dilakukan untuk mempercayakan harga kepada seseorang.
8) Al I’arah
عَقْدٌ يَرِدُعَلَى التَّبَرُّعِ بِمَنَافِعِ الشَّىْءِلِاسْتِعْمَالِهِ وَرَدِّهِ
“Akad yang dilakukan atas dasar pendermaan terhadap manfaat sesuatu untuk dipakai dan kemudian dikembalikan”.
Dalam
akad terdapat tamlik manfaat tanpa iwadl. Orang empunya barang
dinamakan mu’ir, orang yang meminjam dinamakan musta’ir, barang yang
dipinjamkan namanya ‘ariyah.
I’arah kebalikan ijarah. Ijarah,
memiliki manfaat iwadl, atau menjual manfaat, sedang I’arah memberikan
manfaat tanpa bayaran. Karenanya dalam ijarah wajib ditentukan batas
waktu mengambil manfaat, umpamanya sebulan lamanya.
9) Hibah
عَقْدٌمَوْضُوْعُهُ تَمْلِيْكُ الإِنْسَانِ مَالَهُ لِغَيْرِهِ مَجًّانًا بِلَاعِوَضٍ
“Akad yang obyeknya ialah mengalih hak milik kepada orang lain secara cuma-cuma tanpa adanya bayaran”.
Orang yang memberikan hibah dinamakan wahib, yang menerimanya dinamakan mauhub lahu, harta yang diberikan itu dinamakan mauhub.
10) Aqdul Qismati
إِفْرُازُالْحِصَصِ الشَّائِعَةِ فِىْ الْمِلْكِ وَتحْصِيْصُ كُلِّ مِنْهَا بِجُزْءٍمُعَيَّنٍ
“Mengasingkan
(menentukan) bagian-bagian yang berkembang (yang dimiliki bersama)
dalam harta milik dan menentukan bagi masing-masing pemilik dari bagian
itu, bagian tertentu”.
Pelaksanaan qismah terdiri dari dua unsur :
a. Unsur ifraz, mengasingkan atau memisahkan dari yang lain.
b. Unsur jual beli dan tukar menukar.
Hal
ini berlaku dalam suatu yang dimiliki secara musyarakah (secara
bersama), yang terdapat hak bersama pada tiap-tiap bagian dari benda
itu. Dan qismah ini dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak, dan
kadang-kadang dilakukan atas putusan hakim berdasarkan permintaan
kongsi.
Posting Komentar untuk "Macam-macam Akad (Transaksi) dalam Islam"