Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Struktur Akad Jual Beli Dalam Islam

Struktur Akad Jual Beli Dalam Islam
Struktur Akad Jual Beli Dalam Islam


Struktur akad jual beli terdiri dari tiga rukun. Yaitu „Āqidain (penjual dan pembeli), ma‟qūd „alaih (barang dagangan dan alat pembayaran ), dan ṣīgah (Ījāb dan qabūl).

1)    Āqidain

Āqidain adalah pelaku transaksi yang meliputi penjual dan pembeli. Secara hukum transaksi jual beli bisa sah jika pelaku transaksi (penjual dan pembeli) memiliki kriteria mukhtār dan tidak termasuk dalam kategori maḥjū alaih.

Mukhtār adalah seorang yang melakukan transaksi atas dasar inisiatif sendiri, tanpa ada unsur paksaan (ikrāh) dari orang lain. Transaksi atas dasar paksaan hukumnya tidak sah karena transaksi tersebut terlaksana tanpa ada
kerelaan dari pelaku transaksi. Firman Allah Swt. QS. An-Nisā‟ (4): 29:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (QS. An-Nisā‟ [4] : 29)
Kecuali paksaan atas dasar kebenaran. Seperti Very menyuruh Dedi menjual hartanya karena hutang Dedi telah jatuh tempo, namun ia tidak mau melaksanakan dan Very pun melaporkan Dedi ke hakim. Maka hakim boleh menjual barang Dedi tanpa izin atau memaksa untuk menjual hartanya dalam rangka pelunasan hutang.
Sedangkan Maḥjūr „alaih adalah orang yang dibekukan tasaruf atas hartanya karena sebab-sebab tertentu. Dalam fikih terdapat delapan orang yang dibekukan tasaruf atas hartanya. Yaitu: anak kecil (ṣobī), orang gila (majnūn), orang yang menghamburkan harta (safīh), orang yang bangkrut (muflis), orang sakit dalam keadaan kritis (marīḍ makhūf), budak, orang murtad (keluar dari agama Islam), dan orang yang menggadaikan barang (rāhin).
Selain dua syarat di atas, pelaku transaksi (pembeli) harus muslim jika komoditi berupa:

•    Mushaf

Yaitu setiap sesuatu yang mengandung tulisan al-Qur‟an. Disamakan dengan al-Qur‟an yaitu kitab hadis dan kitab yang mengandung ilmu syariat. Maka pembeli komoditi ini disyaratkan harus muslim.

•    Budak Muslim

Jika komoditi berupa budak muslim, maka pembeli juga harus muslim. Karena kepemilikan non muslim terhadap budak muslim mengandung unsur penghinaan. Sebagaimana firman Allah Swt. QS. An-Nisā‟ (4) : 141:

وَلَن يَجْعَلَ ٱللَّهُ لِلْكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا


“Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk mengalahkan orang-orang yang beriman”. (QS. An-Nisā‟ [4] : 141)

•    Budak Murtad

Budak murtad juga tidak sah dijual kepada non muslim, karena orang murtad masih terikat dengan Islam dengan adanya tuntutan untuk kembali pada agama Islam.

2)    Ma’qūd ‘alaih

Ma‟qūd „alaih adalah komoditi dalam transaksi jual beli yang meliputi barang dagangan (muṡman/mabī‟) dan alat pembayaran (ṡaman). Syarat ma‟qūd „alaih ada lima: li al-„Āqid wilāyah, ma‟lūm, muntafa‟ bih, maqdūr „alā taslīm, dan ṭāhir (suci).

a)    Li al ‘Āqid Wilāyah

Yaitu pelaku transaksi harus memiliki wilāyah (otoritas) atau kewenangan atas ma‟qūd „alaih. Otoritas atau kewenangan atas komoditi bisa dihasilkan melalui salah satu dari empat hal:
•    Kepemilikan;
•    Perwakilan (wakālah);
•    Kekuasaan (wilāyah), seperti wali anak kecil, wali anak yatim, penerima wasiat (waṣi);
•    Izin dari syariat, seperti penemu barang hilang dengan ketentuannya. Pelaku transaksi yang tidak memiliki salah satu dari empat otoritas ini maka jual beli yang dilakukan tidak sah secara hukum. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw.:

 لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Tidak boleh menjual kecuali barang yang kamu miliki”. (HR. Abu Daud)

b)    Ma’lūm

Ma‟lūm adalah keberadaan komoditi diketahui oleh pelaku transaksi secara transparan. Pengetahuan terhadap komoditi bisa dihasilkan melalui salah satu dari dua metode:
•    Melihat secara langsung;
•    Spesifikasi, dengan cara menyebutkan ciri-ciri komoditi baik sifat dan ukurannya.

c)    Muntafa’ Bih

Muntafa‟ bih adalah barang yang memiliki nilai kemanfaatan. Adapun tinjauan muntafa‟ bih sebuah komoditi melalui dua penilaian, yaitu syar‟ī dan „urfī. Barang yang memiliki nilai manfaat secara syar‟ī maksudnya adalah barang yang pemanfaatannya legal secara syariat. Maka tidak sah menjual alat musik, karena pemanfaatannya tidak legal secara syariat. Adapun barang yang memiliki nilai manfaat secara „urfī adalah barang yang diakui publik memiliki nilai manfaat. Sehingga tidak sah menjual dua biji beras, karena secara publik tidak memiliki nilai manfaat.

d)    Maqdūr ‘Alā Taslīm

Maqdūr „alā taslīm adalah keadaan komoditi yang mampu diserah- terimakan oleh kedua pelaku transaksi. Jika keadaan komoditi tidak mungkin diserah-terimakan seperti menjual burung yang ada di udara atau ikan yang ada di laut maka transaksi tidak sah.

e)    Ṭāhir

Ṭāhir adalah keadaan komoditi yang suci. Maka tidak sah menjual
komoditi yang najis seperti kulit bangkai, anjing dan babi. Hal berdasarkan sabda Rasulullah Saw;:
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan penjualan khamr, bangkai, babi dan berhala”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun komoditi yang terkena najis (mutanajjis) hukumnya diperinci. Jika memungkinkan disucikan seperti baju yang terkena najis maka sah dijual, jika tidak memungkinkan seperti air sedikit yang terkena najis maka tidak sah dijual.

3)    Ṣigah

Ṣigoh adalah bahasa interaktif dalam sebuah transaksi, yang meliputi penawaran dan persetujuan (ījab dan qabūl). Transaksi jual beli tanpa menggunakan ījāb dan qabūl dikenal dengan istilah bai‟ mu‟āṭah. Karena ījāb dan qabūl dalam transaksi jual beli cukup urgen, ada tiga pendapat tentang bai‟ mu‟āṭah:
•    Menurut qoul masyhūr tidak sah secara mutlak;
•    Menurut ibn Suraij dan Arrauyāni bai‟ muāṭah sah hanya pada komoditi dalam sekala kecil (ḥaqīr);
•    Menurut Imam Malik dan Annawawi bai‟ muāṭah sah dalam praktek yang secara „ūrf (umum) sudah dikatakan sebagai praktik jual beli.

Syarat-syarat ṣigoh adalah sebagai berikut:
 
a)    antara ījāb dan qabūl tidak ada pembicaraan lain yang tidak hubungannya dengan transaksi jual beli.
b)    antara ījāb dan qabūl tidak ada jeda waktu yang lama.
c)    adanya kesesuaian makna antara ījāb dan qabūl. Semisal dalam ījāb disebutkan harga barang yang dijual adalah Rp 10.000, lalu dalam qabūl disebutkan Rp 20.000, maka ījāb-qabūl yang demikian tidak sah.
d)    tidak digantungkan pada suatu syarat yang tidak sesuai dengan ketentuan akad. Semisal memberikan syarat kepadapembeliuntuk tidak menjual kembali barang yang dibelinya kecuali pada penjual pertama. Syarat seperti ini bertentangan dengan ketentuan akad bai‟ yakni setelah transaksi jual beliselesai maka barang sepenuhnya menjadi milik pembeli. Adalah hak pembeli menjual barang yang dimilikinya kepada siapa saja.
e)    tidak ada pembatasan waktu.
f)    ucapan pertama tidak berubah dengan ucapan kedua. Semisal apabila penjual berkata, “Saya jual dengan harga sepuluh ribu,” lalu ia mengubah kalimatnya, “Saya jual dengan harga dua puluh ribu”, maka ījāb-nya tidak sah. Sebab, apabila pembeli menjawab, “Ya, saya beli”, maka tidak dapat diketahui, harga mana yang disetujuinya.
g)    ījāb dan qabūl diucapkan sampai terdengar oleh orang yang berada di dekatnya. Adapun isyarat orang bisu, jika isyaratnya bisa dipahami oleh semua orang maka dianggap ṣigoh yang ṣorih dan tidak butuh niat. Namun jika isyaratnya hanya bisa dipahami oleh beberapa orang saja maka dianggap ṣigoh kināyah dan butuh niat.
h)    tetap wujudnya syarat-syarat āqidain sampai ījāb dan qabūl selesai.
i)    orang yang memulai ījāb atau qabūl harus menyebutkan harga.
j)    memaksudkan kalimat ījāb dan qabūl pada maknanya. Syarat ini mengecualikan kalimat yang diucapkan orang yang lupa, tidur (mengigau), tidak sadar dan sebagainya.

Posting Komentar untuk "Struktur Akad Jual Beli Dalam Islam"